Diputus Ringan, Begini Jawab Hakim Terkait Vonis PT SIPP

Diputus Ringan, Begini Jawab Hakim Terkait Vonis PT SIPP

Kabar Bengkalis  -  Korban pencemaran limbah pabrik kelapa sawit PT Sawit Inti Prima Perkasa (SIPP) di DI KM 6 kelurahan Pematang Pudu, Kecatan Mandau, Bengkalis, Riau, Roslin Sianturi, kecewa dengan putusan hakim Pengadilan Negeri Bengkalis, pasalanya putusan majelis hakim itu dinilai tidak sensitif pada isu lingkungan yang telah menjadi perhatian nasional dan global.

Menjawab ini Pihak PN Bengkalis, melalui Humas PN Bengkalis, Ulwan Maluf, S.H. menjawab begini ; 

Terhadap perkara Nomor 168/Pid.B/LH/2023/PN Bls dan 169/Pid.B/LH/2023/PN Bls ; 

- Bahwa Para Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan bentuk dakwaan alternatif yaitu Pasal 98 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor : 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP atau Pasal 104 jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP, sehingga memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memilih dakwaan mana yang terbukti berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan;

- Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam Persidangan. Sawit Inti Prima Perkasa (PT SIPP) memiliki instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk mengolah air limbah yang dihasilkan. IPAL yang dimiliki oleh Perusahaan berjumlah 13 (tiga belas) kolam. Bahwa kolam IPAL milik PT.Sawit Inti Prima Perkasa tersebut mengalami kebocoran sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada bulan Oktober 2020 dan Februari 2021;

- Bahwa berdasarkan database di DLH Kab.Bengkalis PT.Sawit Inti Prima Perkasa tidak memiliki Izin Pengolahan Limbah Cair (IPLC) untuk kegiatan pengolahan air limbah dan tidak memiliki Izin Pengelolaan Limbah B3 untuk kegiatan Dumping;

- Bahwa atas tidak dimilikinya izin tersebut Perusahaan telah berusaha membuat izin tersebut dengan berbagai macam Langkah yang lengkapnya terdapat dalam putusan;

- Bahwa PT Sawit Inti Prima Perkasa (PT SIPP) mengalirkan air limbah belum diolah ke kolam yang bukan merupakan bagian dari sistem IPAL milik PT SIPP dan dari kolam tersebut air limbah belum diolah tersebut langsung dibuang ke media lingkungan tentu dikategorikan sebagai melakukan bypass aliran air limbah yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan;

- Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut Majelis Hakim berpendapat dan memilih dakwaan alternatif kedua yang terbukti yaitu Pasal 104 jo Pasal 116 Ayat (1) huruf b Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo Pasal 55 Ayat (1) KUHP;

- Bahwa Majelis Hakim menghukum Para Terdakwa dengan dengan pidana penjara selama 1 (satu) Tahun Dan denda sejumlah Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) Bulan, dengan percobaan selama 2 (dua) tahun dengan pertimbangan sebagai berikut:

- bahwa secara pertimbangan yuridis Tindak Pidana Lingkungan lebih mengutamakan hukuman atau sanksi Adminitratif berupa denda dan hukum Perdata, apabila sudah melaksanakan sanksi-sanksi yang di jatuhkan dan sudah melunasi membayar sanksi denda tersebut tidak boleh dilakukan hukuman pidana atau mempenjarakan karena sudah dihukum dengan sanksi Adminitratif dan membayar perbuatan tersebut. Apabila itu dilaksanakan maka terjadilah over kriminalisasi dan akan berdampak negatif dalam sistem hukum yang dijalankan. Bahwa penegakkan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas Ultimum Remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan aturan hukum lainnya termasuk hukum Administrasi;

- bahwa selain itu limbah sawit saat ini dikategorikan katagorikan bukan limbah berbahaya dan beracun (non B3) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 101 tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor: 22 tahun 2021 dan aturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja Nomor : 11 tahun 2020 berdasarkan lampiran 14 disebut limbah sawit adalah Spent Bleaching Earth non B3 dengan kode nomor: 108;

- Bahwa Perusahaan telah berusaha untuk memenuhi kekurangan dokumen izin pembuangan limbah, dan juga telah melakukan tindakan-tindakan yang seharusnya setelah terjadinya kebocoran kolam IPAL PT Sawit Inti Prima Perkasa (PT SIPP), termasuk membayar denda sanksi Administratif Paksaan Pemerintah berdasarkan surat Keputusan Bupati Bengkalis Nomor : 442/KPTS/VI/2021 sebesar Rp. 101.000.000; (seratus satu juta rupiah);

- bahwa melalui praktik implementasi penjatuhan pidana ini, terlihat terbukanya peluang pelaksanaan keadilan restoratif yang lebih berorientasi pada perbaikan keadaan, korban dan diri Terdakwa tanpa mengenyampingkan kepentingan penegakan hukummnya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat ahli hukum pidana RA Duff dan David Garland dalam bukunya A Reader on Punishment yang menyatakan bahwa penerapan pidana dapat dikenakan jika pidana itu dapat memberikan manfaat yang lebih dalam melakukan tindakan pencegahan atas kejadian yang lebih buruk dan tidak ada alternatif lain yang dapat menghasilkan hasil yang sama baiknya atau buruknya;

- Bahwa selain itu terdapat beberapa yurisprudensi Putusan di Pengadilan Negeri lain yang memutus dengan putusan percobaan yaitu : Perkara nomor 547/Pid.B/LH/2020/PN Gns dan nomor 199/Pid.B/LH/2018/PN SDA

- Bahwa selain itu Majelis Hakim dengan mempertimbangkan kerugian yang diderita oleh lahan sekitar Perusahaan, juga memberikan pidana tambahan kepada Terdakwa atas nama Erick Kurniawan yaitu:

o Membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan di sekitar perusahaan (PT Sawit Inti Prima Perkasa) yang telah terbukti tercemar oleh limbah perusahaan a quo akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa sebagaimana tersebut dalam amar putusan angka 1 sejumlah Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) Bulan ;

o Memperbaiki kinerja Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) sehingga air limbah yang dibuang ke media lingkungan sudah memenuhi ketentuan baku mutu dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Tahun ;

o Memeriksa kadar parameter baku mutu air limbah cair secara periodik, sekurangnya sekali dalam sebulan atas biaya perusahaan pada laboratorium rujukan ;

o Pelaksanaannya diawasi oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bengkalis ;

Demikian press release disampaikan, apabila ada pertanyaan atau konfirmasi lebih lanjut dapat langsung datang ke Pengadilan Negeri Bengkalis Bertemu untuk langsung bertemu dengan Humas PN Bengkalis (tidak menerima komunikasi melalui telepon seluler).

Putudan ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, menurut kuasa hukum Roslin Sianturi, Dr (Cd) Marnalom Hutahaean SH, MH,  putusan majelis hakim PN Bengkalis tersebut dinilai sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum lingkungan di Riau.

"Ini preseden buruk terhadap penegakan hukum lingkungan di Riau, bahkan di Indonesia. Sangat disayangkan sekali. Tentunya ini juga tidak memberikan rasa keadilan kepada klien saya sebagai korban," kata Marnalom Hutahaean pada media.

Marnalom menilai, putusan hakim yang menghukum terdakwa pelaku pencemaran lingkungan membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan yang tercemar sebesar Rp 250 juta, “itu yang  menjadi tanda tanya”.

“Padahal sebelumnya, majelis hakim saat menggelar sidang lapangan (pemeriksaan setempat) mereka hadir dilokasi namun menjadi aneh ketika para Hakim ini justru tidak meninjau langsung ke lokasi lahan yang tercemar,” katanya.

Marnalom juga membandingkan tuntutan jaksa kepada kedua terdakwa masing-masing 7 tahun dan 5 tahun dengan putusan hakim yang dijatuhkan.

"Untuk kasus pencemaran nama baik saja, dalam banyak kasus terdakwa dihukum 2 sampai 3 tahun. Masak kasus lingkungan yang seheboh ini diberikan hukuman percobaan," sindir Marnalom.

Kata Marnalom. “bayangkan jika ratusan bahkan ribuan pabrik kelapa sawit yang ada di Riau melakukan hal yang sama, namun hanya dihukum percobaan. Maka kehancuran lingkungan dampak limbah sawit hanya akan dianggap sebagai persoalan sepele belaka”.

“Ini preseden buruk terhadap tegaknya hukum lingkungan dan tidak memberikan efek jera. Bertolak belakang dengan kampanye pemerintah yang pro lingkungan," pungkas Marnalom.

Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkalis, ini juga dinilai banyak pihak telah merobek rasa keadilan, khususnya oleh korban limbah apalagi lahan korban ini rusak terkena air limbah pabrik PT SIPP.

Selain Marnalom, para pegiat lingkungan mengatakan penegakan hukum pidana lingkungan dalam kasus pencemaran limbah pabrik kelapa sawit (PKS) di Riau memang lemah dan hakim dikatakan mereka tak peka terhadap keinginan masyarakatb Riau.

Apalagi kata para pencinta lingkungan ini, “hampir rata PKS di Riau yang menampung buah dari dalam kawasan hutan. Akibat berkebun dalam kawasan hutan apalagi tanpa izin maka dipastikan rawan kebakaran hutan. Ini berdampak kepada masyarakat luas,” kata pera pegiat lingkungan ini.

Bahkan tak kalah penting ikut sertanya aparat penegak hukum melemahkan tuntutan mereka sendiri, sehingga kerap korporasi yang terbukti lahannya terbakar lepas dari jeratan hukum.

Bukan itu saja kata pegiat lingkungan ini, “kami mencurigai ada pedagang diantara oknum tersebut, sehingga jual beli hukumpun diduga kerap terjadi”.

Pegiat lingkungan ini dalam menyikapi putusan Hakim di PN Bengkalis itu menilai tidak tepat lagi “jika majelis hakim menerapkan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan pada kasus SIPP.

“Soalnya, sejak awal kasus ini terungkap, bahkan hingga sampai ke pengadilan, tidak ada itikat baik perusahaan untuk melakukan pemulihan lingkungan atau mengganti kerugian korban,” katanya.**