Setiap Panen Sawit Di Lahan Sitaan Negara di Kampar, JS Dituding Leluasa “Merampok Negara”

Setiap Panen Sawit Di Lahan Sitaan Negara di Kampar, JS Dituding Leluasa “Merampok Negara”

Kabar Kampar - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kampar seolah tak berdaya,pada pengusaha JS yang diduga terus memperkaya diri dengan cara menggarap hutan dan lahan negara seluas lebih kurang 500 hektar di Desa Kepau Jaya, Kabupaten Kampar, Riau.

“Hingga kini panen sawit di hutan negara yang sudah dinyatakan inkrah itu milik negara di Pengadilan Negeri Kampar masih terus dilakukan JS,” kata Direktur Yayasan Sahabat Alam Raya (SAHARA) Batara Harahap kepada wartawan, Sabtu (31/12/22).

“Kita dengar tak ada upaya yang dilakukan APH terhadap pelaku, sementara JS terus saja berburu dolar di atas lahan yang bukan miliknya,” katanya.

Bahkan, diduga lahan tersebut tanpa dokumen atau hak kepemilikan, pasalnya, lewat putusan Mahkamah Agung tahun 2018 alas hak atas lahan telah disita.

“Diketahui, JS merupakan pimpinan Central Group yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang memanen lahan milik negara itu,” sambung Batara.

Batara menyebut, pihaknya sudah sejak lama mengikuti kasus tersebut, menurutnya, semua pihak terkait harus konsen terhadap permasalahan ini. Dirinya (Batara.red) khawatir ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum.

Ditambahkanya, “Presiden jelas sangat tegas soal ini, bahkan, dalam kasus Duta Palma Group, Presiden langsung memberi apresiasi kepada Jaksa Agung yang sukses menangkap taipan sekelas Surya Darmadi”.

“JS ini kan bukan orang besar, masa iya negara kalah dengan ‘akal bulusnya’. Negara jangan kalah sama mafia lah,” tegas Batara.

Selain itu, masih menurut Batara, kasus ini tidak sederhana, sebab diduga dalam penerbitan SKGR ada pemalsuan identitas dari para pemegang hak, misalnya, usianya ditambah dari yang seharusnya, “itu kami temukan dari buku register kecamatan,” imbuh Batara.

Bahkan, si pelaku juga diduga tidak pernah mengantongi izin lokasi, izin usaha perkebunan budidaya (IUP-B), izin usaha perkebunan pengolahan (IUP-P), izin pelepasan kawasan hutan dari kementerian terkait sesuai dengan aturan yang ada.

“Lebih tragis lagi, ada kerugian negara dan kerugian perekonomian negara yang timbul di sana, termasuk perusakan lingkungan hidup,” kata Batara.

Batara juga membandingkan penanganan kasus taipan sawit Surya Darmadi yang ditangkap KPK pada pertengahan Agustus lalu, “sudah ada contoh konkrit kok, Kejaksaan Agung sangat agresif saat itu”, ucapnya.

Batara menyebut telah menyurati pihak terkait, Mabes Polri atas dugaan pidana lingkungan yang dilakukan dalam kawasan hutan oleh JS. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Kejaksaan Agung dan Presiden serta DPR RI.

Kasus menghilang kan sumber penghidupan sekitar 450 kepala keluarga di sekitar hutan, bergulir sejak tahun 2000 silam, saat JS membuka lahan perkebunan sawit di atas hutan negara diduga tanpa berbekal izin pelepasan lahan yang sah dan legal dari Kementerian Kehutanan RI. “Yang bersangkutan hanya mengganti rugi lahan tersebut kepada oknum ninik mamak,” katanya.

Estimasi sementara yang kami lakukan, “negara rugi Rp 240 miliar dampak perambahan kawasan hutan jadi perkebunan sawit.

“Kami berharap aparat penegak hukum tak hanya gunakan instrumen kerugian negara tetapi berupaya menyelidiki dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkolaborasi dengan PPATK, termasuk Asset Tracking untuk menelisik keuntungan yang diperoleh Johannes Sitorus selama mengelola kebun dari 2000-2022, termasuk ke mana keuntungan mengalir. Dengan begitu, katanya, kasus ini akan jadi lebih terang ”, pinta Ketua DPD Relawan Jokowi-Amin Kota Pekanbaru ini (Batara.red).

Ia juga mendesak “Kejaksaan Agung menggunakan cara yang lebih progresif dengan memblokir aliran keuangan perusahaan yang dikelola JS dan keluarganya, sebab, sejak awal aktivitasnya sudah mengandung unsur melawan hukum dan berbau koruptif.”

Belum lagi katanya, dugaan adanya lahan sawit kurang lebih 600 hektar yang ia kelola sejak tahun 2005 diduga tanpa izin, sebab,  di atas lahan tersebut ada izin HPHTI atas nama Rimba Seraya Utama (RSU).

“Terakhir melalui surat keputusan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, izin tersebut telah dicabut tahun 2021 lalu,” pungkasnya.

Dikonfirmasi JD berserta keluarganya mereka tidak menjawab hingga berita ini dilansir Jumat (6/1/23).**