Bahagian Pertama

Diduga Tak Sah Jual Beli - Medan Club, Prof. DR. M Yamin Lubis : Member Bukan Pemilik

Diduga Tak Sah Jual Beli - Medan Club, Prof. DR. M Yamin Lubis : Member Bukan Pemilik

Photo : Prof. DR. M Yamin Lubis, pakar Hukum Agraria, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.**

Medan - Telah santer di khalayak ramai saat ini bahwa Tanah Medan Club akan dijualbelikan. Pihak yang akan membeli katanya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu) dan yang menjualnya adalah Perkumpulan Medan Club sebagai pemegang HGB-nya.

Lalu apakah semudah itu dan tidak akan menjadi persoalan hukum jika memang dilakukan jual beli tanah Medan Club ini? Sungguh pun tidak ada persoalan hukum padanya, namun menarik untuk dikritisi karena yang melakukan jual beli ini masih kurang jelas apakah swasta dengan negara atau negara dengan negara.

Karena jika swasta dengan negara kenapa negara yang menginginkan tanah tersebut dan akan diperuntukkan untuk kepentingan negara nantinya. Dalam Hal ini Pemprovsu misalnya harus melakukan jual beli, kenapa tidak dengan tindakan pengadaan tanah saja dilakukan—yang hanya akan memberikan ganti kerugian pada pihak pemiliknya—jika memang tanah diperuntukkan untuk kepentingan umum.

Jika tanah itu memang adalah milik pemerintah, yang dikelola oleh swasta sebagai yang selama ini mengelolanya, kenapa pula dengan jual beli? Antara pemerintah dengan pemerintah apakah boleh melakukan jual beli? Kenapa tidak dengan ruilslag saja atau yang sering disebut dengan tukar guling, sehingga uang negara tidak harus banyak keluar untuk hanya mengambil aset negara?

Pertanyaan inilah yang sering tidak duduk sehingga terkadang muncul salah di mata hukum agraria, yang membuat mereka yang melakukan jual beli tanah negara harus berhadapan dengan hukum.

Memang untuk legalitas jual beli tanah ini menurut hukum agraria ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan agar jual beli ini tidak tersentuh oleh perilaku di luar hukum. Baik saat penjualan maupun saat setelah penjualan tanah nantinya. Pertama, subjek-nya (mereka yang melakukan jual beli), yaitu memang harus oleh orang yang sah sebagai pemilik.

Karena dalam hukum kepemilikan ada asas yang mengatakan nemo dat qui non habet, artinya orang yang bukan pemilik tak dapat menyerahkan hak. Atau hanya pemilik yang dapat memberi dan menyerahkan tanah.

Di sinilah pentingnya diperhatikan tentang “subjek” ini agar peralihan milik ini memang tidak bermasalah di kemudian hari dan tidak akan ada gugatan lagi atasnya. Misalnya jika ada pihak ketiga yang merasa dan mampu membuktikan bahwa benda itu miliknya tentu tidak dihalangi untuk melakukan gugatan atasnya.

Maka inilah yang perlu diperhatikan betul apakah pemiliknya itu satu orang atau sekumpulan orang yang sah dan sudah siapkah hadir semua atau menunjuk dengan kuasakah dilakukan.

Kedua, adalah objek-nya, atau benda yang diperjualbelikan harus jelas. Dan karena ini adalah tanah beserta haknya, maka harus jelas secara juridis dan secara fisik (dalam hal ini surat dan ukurannya memang sudah jelas dan nyata) dan memang benda yang dapat dijualbelikan. Maka harus hati-hati juga kerena ini adalah hak yang bukan semata tanahnya dalam arti fisik.

Ketiga, proses dan atau perosedur jual belinya. Kalau dalam hukum adat disebut “terang” tidak gelap, artinya memang dilakukan menurut perosedur jual beli tanah atau hak atas tanah. Atau dalam bahasa agrarianya harus dilakukan oleh dan di hadapan PPAT jika memang sudah pernah terdaftar tanah tersebut.

Sehingga kelak dengan akta jual beli yang dibuat dalam Akta PPAT ada bukti bahwa tanah tersebut telah dilakukan jual belinya (peralihannya). Dan yang paling penting dengan adanya Akta PPAT (AJB-nya) dapat dilakukan pendaftaran balik namanya setelah terjadi peralihan milik tanah tersebut.

Maka menurut hukum agrarian, beda disebut tanah dengan disebut Hak Atas Tanah sebagai konsekuensi dari dikerjakan siapakah surat peralihannya tersebut. Jika ke tiga hal tersebut tidak diperhatikan, maka akan dapat dipastikan jual beli tanah ini memilik persoalan di kemudian hari.

Apalagi subjek yang melakukan jual beli ini harus memang terikat dengan prosedur hukumnya, karena bukan dapat dilakukan secara privat semata. Tetapi mungkin karena antara privat dengan publik, kenapa tidak dilakukan saja dengan Pengadaan Tanah.

Sementara jelas penggunaan tanah itu untuk digunakan bagi kepentngan umum seperti isunya untuk pengembangan kantor gubernur, atau mungkin saja itu antara publik dengan publik kah, tentu tidak harus dengan jual beli tetapi cukup dilaksanakan dengan ruilslag saja, atau BOT, BTO atau BTT.

Penulis adalah :
Prof. DR. M Yamin Lubis, pakar Hukum Agraria, Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.**