Etika Administrasi dalam Netralitas ASN Saat Pilkada 2020

Etika Administrasi dalam Netralitas ASN Saat Pilkada 2020

Kabar Pendidikan - Etika dapat diartikan sebagai keseluruhan prinsip moral atas benar dan salah dalam suatu perilaku, baik mengacu pada prinsip pengetahuan tertentu atau pada perilaku pribadi seorang individu. Ilmu administrasi sendiri sebagai sebuah pengetahuan/professional diketahui dalam mengkaji etika yang terdapat didalamnya dapat mengacu pada lima teori normatif, yakni diantaranya nilai-nilai rezim, nilai kesetaraan sosial, nilai kebenaran, teori kewarganegaraan, serta kepentingan publik.

Etika administrasi berisikan anggapan bahwa suatu individu di dalam organisasi dapat melakukan penilaian moral serta dapat dijadikan objek atas penilaian moral yang dilakukan oleh orang lain. Berangkat atas pernyataan tersebut, Thompson (1985) mencoba mengkajinya dengan menawarkan dua konsep etika yang berkaitan dengan etika administrasi, yakni etika netralitas dan etika terstruktur. Kedua konsep teoritis ini digunakan untuk dapat menganalisis eksistensi atas etika administrasi dan bentuknya dalam suatu organisasi.

Pertama, etika netralitas diartikan sebagai tuntutan seorang administrator untuk selalu membuat pertimbangan serta menempatkan dirinya sebagai keseluruhan atas organisasi tempatnya berada. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa setidaknya ada tiga upaya dalam membangun standar tinggi atas perilaku administrator dalam organisasi publik, yakni salah satunya ialah pembentukan kode etik yang berguna sebagai standar dan pedoman para administrator dalam berperilaku dan menempatkan perspektifnya atas suatu isu atau permasalahan. Kedua, etika struktural melihat bahwa objek penilaian moral atas suatu keluaran (outcome) serta produk suatu organisasi bukanlah individu yang menjalankan didalamnya, melainkan organisasi secara keseluruhan itu sendiri.

Salah satu argumentasi yang disampaikan oleh Thompson mengenai pernyataan tersebut adalah berkaitan dengan keberagaman motif atau niat yang dimiliki individu dan kesulitan dalam mendiversifikasikan motif-motif tersebut untuk mencari siapa individu yang paling tepat dilimpahkan tanggung jawab.

Dalam meninjau kualitas etika administrasi yang dijalankan seseorang setidaknya ada empat indikator yang disampaikan Kumorotomo (2013) yakni diantaranya:

  1. Ketertiban, yakni pelaksanaan seluruh prosedur operasional yang berlaku baik berupa ketentuan, peraturan, hingga perintah.
  2. Efisiensi, pencapaian output secara maksimal dengan pemanfaatan sumber daya seminimal mungkin.
  3. Produktivitas, penilaian performa melalui perbandingan antara daya guna dengan hasil guna atas berbagai faktor produksi yang dimiliki.
  4. Kesadaran moral, rasa kepemilikan yang timbul atas kewajiban yang diemban(Kumorotomo, 2013).

 

Dalam menganalisis secara lebih lanjut penyelenggaraan netralitas ASN pada Pilkada 2020, penulis menggunakan teori etika administrasi yang diutarakan oleh Kumorotomo (2013) dan mencoba mengaitkan keempat fokus utamanya dengan realitas Pilkada 2020 di lapangan, yakni diantaranya :

a. Ketertiban

Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan tugas – tugasnya diharapkan mampu untuk selalu mematuhi segala peraturan dan regulasi yang mengikatnya untuk senantiasa menjaga ketertiban tidak hanya antar internal ASN tetapi juga menyangkut stakeholders di luar lembaga pemerintahan. Ketertiban ASN juga dapat diartikan sebagai kewajiban bagi seluruh ASN untuk menjalankan tugas pokok dan fungsinya dengan sekaligus mematuhi segala peraturan dan regulasi formal yang telah ditetapkan tentang ASN. Secara garis besar, tata tertib perilaku ASN telah tertuang secara resmi dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Dalam pelaksanaan Pilkada 2020, berbagai pendapat menyebutkan bahwa pemenuhan akan netralitas ASN dirasakan sangat penting sebagai kunci keberhasilan sekaligus menghindari adanya konflik dan aksi anarkis (Humas MenPAN-RB, 2020). Selain itu, netralitas ASN juga memegang peranan penting dalam upaya perwujudan reformasi birokrasi nasional.

Indonesia melalui perubahan persepsi dan paradigma birokrasi yang berfokus kepada masyarakat banyak (publik) dibandingkan kepentingan pihak tertentu (Lestari, 2019). Akan tetapi, dalam penyelenggaraannya masih banyak ditemukan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh para ASN terlepas dari segala peraturan netralitas ASN yang telah ditetapkan.

Hingga November 2020, KASN telah mencatat lima daerah tertinggi kasus kumulatif pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada 2020 diantaranya adalah Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur.

b. Efisiensi

Aspek efisiensi dapat didefinisikan sebagai suatu ukuran keberhasilan kinerja berdasarkan besaran biaya atau sumber daya yang digunakan dalam mencapai hasil yang diinginkan. Efisiensi dalam memastikan penegakan netralitas ASN berkaitan erat dengan bagaimana seorang ASN memastikan seluruh sumber daya yang dimilikinya telah digunakan untuk kepentingan masyarakat banyak dan bukan hanya untuk kepentingan sebagian pihak saja.

Selain itu, jika ditinjau dari sisi etika administrasi efisiensi dapat dilihat sebagai suatu kewajiban bagi ASN dalam memastikan seluruh output dan outcome yang dihasilkan atas wewenang yang dimilikinya mampu menghasilkan kebermanfaatan semaksimal mungkin dan meminimalisir kemungkinan kerugian yang ditimbulkan negara (Kumorotomo, 2013).

Pelanggaran efisiensi netralitas ASN dalam Pilkada 2020 dapat dikaitkan dengan potensi adanya politisasi Bantuan Sosial (Bansos) di masa Pandemi Covid-19 oleh para petahana yang akan mencalonkan kembali pada Pilkada 2020. Hingga pertengahan 2020, Bawaslu mencatat setidaknya terdapat 11 provinsi dan 23 kabupaten kota yang terbukti mengadakan distribusi bansos Covid-19 dengan menyertakan atribut kampanye seperti foto atau gambar calon petahana (Bawaslu, 2020).

Hal tersebut sangat disayangkan mengingat adanya penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki oleh petahana selaku ASN tertinggi dalam suatu daerah dan juga pelanggaran terhadap UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 terutama Pasal 71 ayat 1, 2 dan 3 mengenai netralitas ASN.

 c. Produktivitas

Berdasarkan penelitian oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) terhadap jajaran birokrasi tahun 2006, diketahui bahwa netralitas PNS memiliki implikasi terhadap kinerja dan pelayanan publik.

Hal tersebut didasari oleh hasil statistik yang menunjukan bahwa sekitar 2,78% responden mengaku sering menghadiri kampanye salah satu partai politik sedangkan sekitar 2,22% responden mengakui adanya himbauan dari para pimpinan daerah untuk menghadiri kampanye (Firnas, 2016). Cikal bakal permasalahan tersebut dapat berpotensi menurunkan tingkat profesionalisme pegawai ASN serta berpengaruh terhadap laju penyelenggaraan pemerintahan (Dharmaningtias, 2020).

Meskipun telah dilakukan berbagai penegakan hukum untuk mendorong netralitas ASN melalui sejumlah perundang-undangan antara lain: UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN, UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang UU Pilkada, serta perubahan turunan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dan PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS, namun hal tersebut tidak begitu memberikan dampak perubahan yang signifikan berdasarkan data terakhir Pilkada serentak pada tahun 2015, 2017, 2018 mengingat adanya peningkatan pelanggaran netralitas ASN yang relatif tinggi pada tahun 2018 yakni sebanyak 491 aduan terkait netralitas politik.

 d. Kesadaran moral

Dalam menindaklanjuti pelanggaran netralitas ASN dalam Pilkada serentak tahun 2020 hingga tanggal 19 Agustus 2020, sebanyak 372 orang telah diberikan rekomendasi penjatuhan sanksi oleh KASN. Namun, pemberian sanksi melalui PPK baru dilakukan kepada 194 ASN atau sekitar 52,2% total pelanggar.

Ketidakselarasan laju penindakan antara kedua belah pihak telah mendesak pihak KASN untuk melaporkan kinerja PPK kepada Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) untuk memberikan sanksi kepada pihak PPK yang tidak segera memberikan sanksi akan diadukan kepada Presiden (Dharmaningtias, 2020).

Hal tersebut mendorong hasil kajian KASN tahun 2018 terkait beberapa faktor penyebab terjadinya pelanggaran netralitas ASN, salah satunya pemberian sanksi yang lemah, sehingga dapat menciptakan pemahaman bahwa ketidaknetralan ASN dianggap lumrah serta mengganggu sikap netral dalam menjaga kinerja pada pelayanan publik.

Urgensi dalam penegakkan hukum khususnya pemberian sanksi dan pengawasan dalam menjaga prinsip netralitas ASN dapat berpengaruh terhadap komitmen dalam menjaga rasa kewajiban dan mengemban amanah dalam pelayanan publik.

Pentingnya lingkungan yang menjunjung rasa keadilan dapat melibatkan perasaan dihargai serta keterlibatan diri secara emosional dan personal dalam melakukan pekerjaannya.**

Oleh : Dwi Sandra - Jurusan : Ilmu Administrasi Negara (Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau)