Birokrasi yang Belum Efektif dan Efisien Terhadap Pelayanan Publik

Birokrasi yang Belum Efektif dan Efisien Terhadap Pelayanan Publik

Kabar Pendidikan - Birokrasi adalah tata kerja pemerintahan agar tujuan negara bisa melayani rakyatnya tercapai secara efektif dan efisien.

Birokrasi sendiri memiliki tugas, kedudukan yang sangat penting dan spesifik dalam konteks kehidupan bernegara. Birokrasi juga dapat dikatakan sebagai alat pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan.

Birokrasi sebagai pelayan publik harus mampu memberikan pelayanan yang memuaskan serta bersih dari penyakit-penyakit birokrasi.

Sering kali ditemui bahwa kondisi birokrasi di Indonesia belum efektif dan efisien terbukti dengan maraknya patologi- patologi dalam birokrasi.

Patologi birokrasi atau penyakit birokrasi adalah penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis, aturan-aturan, dan ketentuan-ketentuan perundangan-undangan serta norma-norma yang berlaku dalam birokrasi. Untuk menciptakan birokrasi yang bersih tidak semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun sudah dilakukan reformasi birokrasi, patologi birokrasi tidak dapat dihindari.

Karena untuk merubah kebiasaan seseorang sangatlah susah, meskipun sudah ada sanksi dan hukuman yang diberlakukan tetap saja dilanggar. Hal ini yang menyebabkan birokrasi menjadi inefisiensi karena tugas-tugas yang dibebankan tidak dapat berjalan secara efektif.

Pelayanan pada hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu proses pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Salah satu penyebab dari buruknya kinerja pelayanan publik adalah kompleksnya (gemuknya) struktur birokrasi pelayanan publik. Selama ini suatu birokrasi pelayanan publik sering tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk secara sendirian menyelesaikan proses pelayanan publik di lembaganya. Penyelesaian proses pelayanan publik sering harus melibatkan lembaga lainnya. Ini terjadi karena fragmentasi birokrasi dan kekuasaan, baik yang ada di pusat maupun di daerah, cenderung sangat tinggi. 

Akibatnya, sering warga negara yang membutuhkan pelayanan publik harus mendatangi banyak kotak birokrasi yang masing- masing memiliki kompleksitas yang berbeda atau biasa disebut birokrasi yang berbelit-belit. Kondisi seperti ini mendorong terjadi KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.

Ruang lingkup patologi birokrasi menurut Smith (1988) dalam Ismail (2009) dapat dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu:

  1. Disfunctions of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara kelembagaan yang jelek, sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.
  2. Mal-administration, yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau perilaku yang dapat disogok, meliputi: perilaku korup, tidak sensitif, arogan, misinformasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam birokrasi.

Siagian (1994) mengelompokkan patologi birokrasi ke dalam 5 (lima) kategori, yaitu:

  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi, seperti: penyalahgunaan wewenang dan jabatan, persepsi atas dasar prasangka, mengaburkan masalah, menerima sogok, pertentangan kepentingan, cenderung mempertahankan status quo, empire building, bermewah-mewah, pilih kasih, takut pada perubahan, inovasi, dan resiko, penipuan, sikap sombong, ketidakpedulian pada kritik dan saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, sifat menyalahkan orang lain, tidak adil, intimidasi, kurang komitmen, kurang koordinasi, kurang kreativitas, kredibilitas trendah, kurangnya visi yang imajinatif, kedengkian, nepotisme, tindakan tidak rasional, bertindak diluar wewenang, paranoid, patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, keengganan pikul tanggung jawab dan xenophobia.
  2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional, seperti: ketidakmampuan menjabarkan kebijaksanaan pimpinan, ketidaktelitian, rasa puas diri, bertindak tanpa berpikir, kebingungan, tindakan yang tidak produktif, tidak adanya kemampuan berkembang, mutu hasil pekerjaan yang rendah, kedangkalan, ketidakmampuan belajar, ketidaktepatan Tindakan, inkompetensi, ketidakcekatan, ketidakteraturan, melakukan tindakan yang tidak relevan, sikap ragu-ragu, kurangnya imajinasi, kurangnya Prakarsa, kemampuan rendah, bekerja tidak produktif, ketidakrapian, dan stagnasi.
  3. Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti: penggemukan biaya, menerima sogok, ketidakjujuran, korupsi, tindakan criminal, penipuan, kleptokrasi, kontrak fiktif, sabotase, tata buku tidak benar, dan pencurian.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif, seperti: bertindak sewenang-wenang, pura-pura sibuk, paksaan, konspirasi, sikap takut, penurunan mutu, tidak sopan, diskriminasi, dramatisasi, sulit dijangkau, sikap tidak acuh, tidak disiplin, kaku, tidak berperikemanusiaan, tidak peka, tidak sopan, tidak peduli tindak, salah tindak, semangat yang salah tempat, negativism, melalaikan tugas, tanggungjawab rendah, lesu darah, paparazzi, melaksanakan kegiatan yang tidak relevan, utamakan kepentingan sendiri, suboptimal, imperatif wilayah kekuasaan, tidak professional, sikap tidak wajar, melampaui wewenang, vested interest, dan pemborosan.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan, seperti: penempatan tujuan dan sasaran yang tidak tepat, kewajiban sosial sebagai beban, eksploitasi, tidak tanggap, pengangguran terselubung, motivasi yang tidak tepat, imbalan yang tidak memadai, kondisi kerja yang kurang memadai, pekerjaan tidak kompatibel, tidak adanya indikator kinerja, miskomunikasi, misinformasi, beban kerja yang terlalu berat, terlalu banyak pegawai, sistem pilih kasih, sasaran yang tidak jelas, kondisi kerja yang tidak nyaman, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan perubahan sikap yang mendadak.

Alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijakan yang menjadi pedoman perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut:

  • A. Dalam hubungan dengan berpola patron-klien tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif. Perlu membuat peraturan Undang-undang pelayanan publik yang memihak pada rakyat.
  • B. Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit-belit, perlu dilakukan restrukturisasi birokrasi pelayanan publik.
  • C. Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme selain hal di atas diharapkan pemerintah menetapkan perundang – undangan di bidang Informatika (IT) sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e-Government agar penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparansi dan saling kontrol.
  • D. Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan pengguna pelayanan publik.
  • E. Setiap daerah diperlukan lembaga Ombudsman. Lembaga ini bisa berfungsi ingin mendudukkan warga pada pelayanan yang prima. Ombudsman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.**

Oleh ; Cindy Destia Cantika - Ilmu Administrasi Negara Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Referensi: Ahmad, B. (2008). KONDISI BIROKRASI DI INDONESIA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PELAYANAN PUBLIK. Jurnal Administrasi Publik, 47-48.

Tri yuningsih, d. (2018). ETIKA ADMINISTRASI PUBLIK. Semarang: Program Studi Doktor Administrasi Publik Press FISIP-UNDIP.