BIDANG HIKMAH PK IMM FAPERTA UMSU : Pengesahan RKUHP, Ada Apa Dengan Demokrasi?

BIDANG HIKMAH PK IMM FAPERTA UMSU : Pengesahan RKUHP, Ada Apa Dengan Demokrasi?

Photo : Ketua bidang hikmah PK IMM FAPERTA UMSU, Boby Wahyudi Lubis

Medan - DPR RI dan Pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen.

Pengesahan ini mendapat kritikkan dari berbagai kalangan mahasiswa salah satunya ikatan mahasiswa Muhammadiyah fakultas pertanian universitas sumatera utara melalui Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik. 

Ketua bidang hikmah PK IMM FAPERTA UMSU, Boby Wahyudi Lubis mengatakan bahwa ada beberapa pasal yang harusnya masih perlu di tinjau kembali seperti

1. Berita Bohong
RKUHP mengatur soal penyiaran, penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga bohong. Pasal ini, dapat menyasar pers atau pekerja media.
Pada Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa seseorang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara paling lama 6 tahun atau denda Rp500 juta.

"Setiap Orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan tersebut bohong yang mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V," demikian bunyi Pasal 263 Ayat 1.

2. Hukuman Koruptor Turun

RKUHP mengatur terkait pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, hukuman pidananya mengalami penurunan.

Dalam naskah terbaru, tindak pidana korupsi diatur pada Pasal 603. Pada Pasal tersebut dijelaskan koruptor paling sedikit dipenjara selama dua tahun dan maksimal 20 tahun.

Selain itu, koruptor juga dapat dikenakan denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta dan paling banyak Rp2 miliar. Berikut bunyi pasal tersebut;

"Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup. 

3. Pidana Santet
Ketentuan itu dituangkan dalam pasal 252 ayat (1). Ancaman hukuman pidana bagi pelaku santet mencapai 1,5 tahun.

"Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV," bunyi pasal tersebut.

Pemerintah dan ke frasa "meminta izin" "Ruang demokrasi yang seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah seolah dibatasi,yang seharusnya mengkritik adalah bukti masyarakat peduli kepada negaranya,seolah" pemerintah ingin di agung" kan dan tidak ingin dinilai kinerja kerjanya.

"Tak sampai hanya itu saja bahkan demonstran yang ingin menuntut haknya yang tak terpenuhi harus meminta izin terlebih dahulu Padahal pada, UU Nomor 9 Tahun 1998 tidak mengatur sanksi pidana bagi aksi unjuk rasa, tetapi hanya memuat ancaman pembubaran bila demonstrasi digelar tanpa pemberitahuan," ujar Boby Wahyudi Lubis Ketua bidang hikmah PK IMM FAPERTA UMSU. Kamis (9/12/2022)

Selanjutnya Rifaldi Ritonga selaku sekbid Hikmah Pengesahan RKUHP,ada apa dengan demokrasi?

DPR RI dan Pemerintah akhirnya mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi undang-undang dalam rapat Paripurna yang digelar di kompleks parlemen, Selasa (6/12).
Pengesahan ini mendapat kritikkan dari berbagai kalangan mahasiswa salah satunya ikatan mahasiswa Muhammadiyah fakultas pertanian universitas sumatera utara melalui Bidang Hikmah Politik dan Kebijakan Publik. 

Sekertaris bidang hikmah PK IMM FAPERTA UMSU, Muhammad Rifaldi Ritonga mengatakan bahwa ada beberapa pasal yang harusnya masih perlu di tinjau kembali seperti

1. Pasal 240 -tentang Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara
Pasal ini berdampak buruk bagi ruang demokrasi Indonesia, terkait tidak adanya penjelasan terhadap kata "PENGHINAAN" yang akan berdampak membungkam kritik masyarakat kepada pemerintah dan lembaga negara.

2. Pasal 256- tentang unjuk rasa 

Pasal ini membatasi ruang demokrasi ketika para demonstran ingin meminta haknya.
Prihal frasa "meminta izin" yang seharusnya hanya pemberitahuan saja kepada pihak yang berwenang.

"Ruang demokrasi yang seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah seolah dibatasi,yang seharusnya mengkritik adalah bukti masyarakat peduli kepada negaranya,seolah" pemerintah ingin di agung - agungkan dan tidak ingin dinilai kinerja kerjanya.

"Tak sampai hanya itu saja bahkan demonstran yang ingin menuntut haknya yang tak terpenuhi harus meminta izin terlebih dahulu Padahal pada, UU Nomor 9 Tahun 1998 tidak mengatur sanksi pidana bagi aksi unjuk rasa, tetapi hanya memuat ancaman pembubaran bila demonstrasi digelar tanpa pemberitahuan"
kata Rifaldi Ritonga sekertaris bidang hikmah PK IMM FAPERTA UMSU. 


"Maka dengan ini kita meminta kepada DPR RI untuk meninjau kembali agar ruang demokrasi kita tidak rusak supaya rakyat Indonesia hidup adil dan makmur," pungkasnya. **