Dua Kepala Daerah Terancam ? Terkait Laporan Normalisasi Sungai Bangko dan Kerumutan

Dua Kepala Daerah Terancam ? Terkait Laporan Normalisasi Sungai Bangko dan Kerumutan

Kabar Pekanbaru - Belakangan ini banyak persoalan lingkungan yang mencuat ke ruang publik justru berasal dari instansi teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup.

Kepala Suku Yayasan Anak Rimba Indonesia (ARIMBI) Mattheus Simamora, mengatakan terkait tersebut “rata-rata kasus yang terungkap adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang menjadi pedoman teknis dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya”.

Motif kepentingan kelompok, atas adanya permintaan kepala daerah, adanya niat korupsi dan lain sebagainya, diduga sebagai pemicu para pejabat teknis ini mengabaikan sejumlah aturan tersebut.

“Apakah mereka tidak tahu itu melanggar ? Tentulah mereka tahu itu salah, tetapi sepanjang pengak hukum bisa mereka kendalikan dengan uang, mereka seolah kebal hukum dan tidak akan pernah takut dengan resiko. Toh selama ini aman-aman saja bukan ?,” kata Mattheus Senin (5/12/22) di kantor Rembuk ARIMBI di Jl Durian 35 B Kota Pekanbaru .

Menurut Mattheus, sejak pertengahan tahun 2021 hingga penghujung tahun 2022 ini ARIMBI sedikitnya telah melaporkan lima dugaan penyalahgunaan wewenang dalam jabatan terkait tindak pidana lingkungan. Jika saya rinci mulai laporan dugaan tindak pidana limbah PT Chevron, pencemaran sampah di pantai Mekong di Kepulauan Meranti, normalisasi Sungai Bangko tanpa izin lingkungan di Rokan Hilir, dumping limbah medis di RSUD Rokan Hulu dan yang paling teranyar adalah normalisasi sungai Kerumutan yang melibatkan Bupati Pelalawan.

“Semua itu melibatkan pejabat teknis yang bisa memberikan pertimbangan apakah kegiatan yang akan dilakukan tersebut melanggar aturan atau tidak dan bagaimana kegiatan tersebut bisa dilaksanakan tanpa melanggar aturan. Contoh kasus yang sama adalah soal normalisasi sungai atau yang mereka sebut cuci sungai. Sungai Bangko dan Sungai Kerumutan sama-sama pada kawasan hutan, sama-sama atas permintaan masyarakat dan sama-sama menggunakan dana Corporate Social Resposibility (CSR). 

Namun sebenarnya jika bicara soal kewenagan, maka yang paling tepat melaksanakannya adalah Balai Wilayah Sungai Sumatera III (BWSS III) tetapi tetap dilaksanakan oleh DLH karena dana CSR ini,” ujar Mattheus.

Lanjut Mattheus, sangat disayangkan jika kemudian citra seorang kepala daerah yang ingin mendapatkan empati masyarakat malah terbentur persoalan hukum hanya karena pertimbangan teknis yang asal-asalan dari pejabat dinas lingkungan hidup.

“Jika kegiatan tersebut disusun sesuai tahapan seperti penyusunan AMDAL atau UKL/UPL, Uji kelayakan, Persetujuan Lingkungan, Persetujuan Berusaha, Koordinasi dengan Satker SDA, tentu tidak akan menjadi persoalan, semua itu ada aturannya kok,” kata Mattheus. 

Ada dalam UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengolaan Lingkungan Hidup (PPLH) jo UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, PP nomor 22 tahun 2021 tentang penyelenggaraan PPLH, Permen LHK nomor 4 tahun 2021 tentang daftar usaha dan atau kegiatan yang wajib  memiliki AMDAL, UKL dan UPL atau SPPL. Selain aturan diatas kegiatan normalisasi sungai ini juga diduga melanggar UU nomor 17 tahun 2019 tentang Sumber Daya Air terutama pasal 25, pasal 71 dan pasal 73. Selain itu tanggungjawab kepala daerah juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. 

Menurut Mattheus, kegiatan normalisasi sungai seperti yang dimintakan masyarakat itu tujuannya sangat bagus. Selain mencegah luapan banjir, juga ada aspek ekonominya bagi masyarakat tempatan, dimana sebagian masyarakat itu adalah nelayan yang menggantungkan hidup dari tangkapan ikan air tawar.

“Tetapi sangat disayangkan ketika seorang kepala daerah yang memiliki tim teknis seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), malah terlihat ceroboh dengan mengangkangi berbagai aturan dan peraturan, atau ini sengaja ingin menjebak atasannya ?” pungkas Mattheus.**


Video Terkait :