CERI Nilai Menteri ESDM Bentuk Ditjen Gakum untuk Tindak Tambang Ilegal Adalah Langkah Mubazir

CERI Nilai Menteri ESDM Bentuk Ditjen Gakum untuk Tindak Tambang Ilegal Adalah Langkah Mubazir

Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, menyebut rencana terbaru Menteri ESDM Arifin Tasrif yang akan membentuk Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Ditjen Gakum) untuk memberantas tambang ilegal adalah langkah tergesa-gesa dan sia-sia yang berujung tidak efektif dan patut dipertanyakan.

"Sebab, persoalan mendasar maraknya tambang ilegal jadi subur, lebih disebabkan lemahnya penegakan hukum dan buruknya tata kelola di Ditjen Minerba bukan rahasia lagi. Sehingga jauh lebih efektif, jika Menteri ESDM fokus untuk segera membereskan adanya 'matahari kembar' dan buruknya tata kelola di Ditjen Minerba," jelas Yusri, Minggu (4/12/22) siang. 

Buruknya tata kelola itu kata Yusri, penting untuk dibenahi karena sangat rawan disalahgunakan oleh oknum pejabat yang berkongkalikong dengan pengusaha hitam dalam mengatur alokasi kuota produksi tambang di Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB), penyimpangan realisasi penjualan dan menurunkan kadar hasil tambang serta pelaksanaan pemenuhan DMO (Domestic Market Obligation).

"Jika tidak punya backing kuat, penambang kecil jangan pernah bermimpi bisa memperoleh persetujuan RKAB dalam waktu cepat, bahkan menjelang akhir tahun belum tentu juga terbit, jika penambang tidak mendapat RKAB dari Ditjen Minerba, meskipun badan usaha sudah berstatus IUP Operasi Produksi, tapi sudah melakukan penambangan, maka masuk klasifikasi ilegal," jelas Yusri lagi.

Namun, kata Yusri, beda halnya dengan perusahaan tambang besar atau yang punya backing kuat, biasanya awal tahun sudah terbit RKAB-nya, bahkan di tengah jalan soal menambah kuota produksi dengan merubah RKAB adalah hal yang sangat mudah.

"Berdasarkan beberapa dokumen realisasi muatan hasil tambang dan tujuan kapal di Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan (KSOP) yang kami miliki, untuk 'tambang ilegal alias koridor' lazimnya menggunakan 'dokumen terbang' RKAB dari tambang yang tidak layak berproduksi, ternyata tambang legal pun ada yang melakukan praktek ilegal juga," kata Yusri.

Hal itu menurut Yusri diduga dengan mengakali sistem IT MOMS (Minerba Online Monitoring Sistem) oleh oknum di Ditjen Minerba untuk kewajiban setoran PNPB terkait volume realisasi dan kadar barang.

"Berdasarkan data realisasi penjualan dan kewajiban DMO dengan data di KSOP informasinya banyak terjadi selisih yang sangat besar, berpotensi merugikan negara ratusan triliun setiap tahunnya," ungkap Yusri.

Jika mau serius dan efektif untuk menghabisi praktek tambang ilegal, ulas Yusri lagi, pemerintah harus mau menerapkan digitalisasi terintegrasi antara Ditjen Minerba dengan badan usaha dan Kementerian LHK, Ditjen Perhubungan Laut atau KSOP, Bea Cukai dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri serta aparat penegak hukum, mulai dari KPK, Polri, Kejaksaan Agung hingga BPK secara real time. 

"Masing-masing pihak sesuai kepentingan dapat membuka aplikasi untuk mengecek kesesuaian realisasi alokasi yang telah membayar kewajiban membayar PNBP dan land rent serta  DMO setiap perusahaan," ungkap Yusri.

Menurut Pelaksana Harian (Plh) Dirjen Minerba Kementerian ESDM, M Idris Sihite dilansir media 2 Desember 2022 telah mengatakan negara berpotensi rugi besar akibat praktek tambang ilegal. Hingga 18 November 2022, realisasi PNBP Rp 152,8 triliun.

"Kalau itu kita bisa ditata dengan baik kata Idris Sihite, sangat mungkin dua atau tiga kali lipat dari angka Rp 152,8 triliun yang bisa diterima oleh negara, luar biasa potensi kebocorannya," ungkap Yusri.

Sebab, kata Yusri, pokok persoalan yang terungkap dari 'perang bintang' antara mantan Kadiv Propam Polri  Ferdy Sambo dengan Kabareskrim Komjen Agus Ardianto soal testimoni dan bantahan Ismail Bolong soal setor menyetor uang haram kepada oknum pejabat Polri dari pangkat rendah hingga perwira tinggi, tampaknya sistematis dan terstruktur.

"Semua akibat adanya penyalahgunaan wewenang oknum polisi dari level bawah hingga perwira tinggi yang bekerja sama dengan penambang atau trader hitam dengan oknum otoritas pelabuhan, bea cukai dan oknum Ditjen Minerba, sehingga menyebabkan potensi kerugian negara ratusan triliun setiap tahun dari praktek tambang ilegal," kata Yusri.

"Bahkan kami telah mendapati jejak dokumen yang harus menjadi atensi Kapolri, bahwa diduga Ismail Bolong selama masih berdinas di Polda Kaltim dengan kawan kawan sempat membuat badan hukum usaha di Samarinda, PT Bumi Nirmala Nusantara yang aktenya dirubah pada notaris Indra Setia Nugraha S.H., M.Kn pada 19 September 2022 dan 2 November 2022  di Kutai Kartanegara," kata Yusri.

"Pertanyaannya adalah, apakah ada jaminan dari Menteri ESDM, jika dibentuk Ditjen Gakum, praktek tambang ilegal bisa habis ditindak dengan penegakan hukum tanpa tebang pilih, kemudian penerimaan PNBP pasti meningkat?," timpal Yusri lagi.

Jangan lupa, kata Yusri, sekitar 80 persen keberadaan lokasi tambang berada di kawasan hutan, terbukti banyak pelanggaran terjadi penambangan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan tidak melaksanakan reklamsi paska tambang dan melakukan reboisasi, termasuk jutaan hektar tanaman sawit berada di dalam kawasan hutan ternyata tak mampu juga ditertibkan oleh Ditjen Gakum Kementerian LHK hingga saat ini.

"Jadi, kita jangan mudah terkecoh adanya komentar Gibran Rakabuming Walikota Solo soal maraknya tambang ilegal galian C di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Gibran di medsos menyeletuk tambang ilegal ngeri backingnya, empat hari setelah ciutan langsung direspon juga oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo, mengadakan Rakor dengan semua kepala daerah di Jateng," kata Yusri.

Menteri ESDM, lanjut Yusri, ikut juga merespon cepat dengan menugaskan tim Kementerian ESDM ke lapangan berkoordinasi dengan Inspektur Tambang Provinsi Jateng.

"Sementara, beda sikap Menteri ESDM terhadap kasus tambang ilegal di Kalimantan dan Sulawesi, dia malah irit bicara apalagi bertindak. Padahal kasus tambang galian C di Klaten itu kasus receh dibandingkan kasus Ismail bolong dkk. Karena tambang ilegal galian C seperti pasir dan batu ditambang didasar aliran sungai," kata Yusri.

Menurut Yusri, kerugian untuk retribusi daerah hanya berkisar Rp 5 ribu sampai dengan Rp 10 ribu permeter kubik. Selain itu, kerusakan lingkungannya relatif lebih kecil dibandingkan kerusakan akibat menambang batubara, nikel, timah, pasir besi dan bausit.

"Namun, semuanya memang harus ditertibkan, karena merugikan negara dan  daerah, serta merusak lingkungan hidup. Sejak lama CERI sudah mensinyalir akibat revisi UU Minerba pada tahun 2020, banyaknya tambang Galian C ilegal juga disebabkan kebijakan Kementerian ESDM dan Ditjen Minerba mengambil kewenangan perizinan dari Dinas ESDM Propinsi, bagaimana repotnya rakyat untuk mengurus tambang 5 hektar yang jauh di ujung kabuputen, harus pergi ke Jakarta mengurusnya, hal yang tak masuk akal sehat," kata Yusri.

Termasuk, kata Yusri, kewenangan pengawasan terhadap tambang di daerah telah ditarik ke pusat, Dinas ESDM provinsi tak punya wewenang dalam mengawasi dan menertibkan tambang ilegal di daerah.

"Inspektur tambang yang hanya ada di ibu kota provinsi merupakan kepanjangan tangan dari Kementerian ESDM, banyak yang payah kinerjanya alias impoten. Baru sekitar Agustus 2022, Kementerian ESDM cq Ditjen Minerba melimpahkan kewenangan perizinan galian C  kepada Dinas ESDM Provinsi, akan tetapi katanya petunjuk tehnisnya belum turun juga," ulas Yusri.

Jadi, kata Yusri, jika mau serius memberantas mafia tambang untuk menyelamatkan penerimaan negara, reformasi penegak hukum adalah prioritas utama, kemudian lakukan reformasi tata kelola di Ditjen Minerba yang transparan dengan sistem digitalisasi terintegrasi antar kementerian dengan aparat penegak hukum dan BPK-RI.**