Di 2 Kab Puluhan Tahun Ayau "Merampok" Negara

Atuk Mijan; Janji Pak Mahfud Tak Menyentuk Sampai ke Riau “Aparat Kalah Oleh Mafia Tanah”

Atuk Mijan; Janji Pak Mahfud Tak Menyentuk Sampai ke Riau “Aparat Kalah Oleh Mafia Tanah”

Kabar Rohil - Tergugat Chandra Gunawan alias Ayau warga Perdagangan (Sumut) tak perduli dengan Putusan Tetap Mahkamah Agung RI yang menyatakan lahan perkebunan sawit seluas 173 hektar yang dikelolanya berada diatas kawasan hutan tanpa izin. Belum lagi lahan negara dikuasai Ayau di Kenagarian Buluh Nipis, desa Kepau Jaya, Kampar, Riau.

Informasi yang dirangkum di lapangan, sejak pasca putusan Kasasi pada tahun 2018 di dua lahan tersebut sampai saat ini lahan perkebunan kelapa sawit seluas 173 hektare yang terletak di wilayah Kepenghuluan Sintong Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Provinsi Riau, dana lahan di Kenagarian Buluh Nipis, desa Kepau Jaya, Kampar masih terus dikelola dan dikuasai oleh tergugat. “Artinya usai putusan ini pengusaan lahan negara tanpa izin adalah ‘perampok’, artinya lagi negara kalah dengan mafia”.

Diketahui sebelumnya Perkara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) tentang usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin yang berada di atas Kawasan Hutan ini digugat oleh salah satu Yayasan dibidang Lingkungan Hidup yang berkantor di Kota Pekan Baru, 

Berdasarkan informasi dari warga sekitar, objek lahan perkebunan sawit ini telah dikelola dan dikuasai tergugat hampir puluhan tahun ternyata berada di dalam kawasan hutan tanpa izin.

Sesuai data yang di rangkum dari laman Website resmi Sistim Informasi Penelusuran Perkara SIPP), PN Rohil , Chandra Gunawan alias Ayau selaku pihak Tergugat sedangkan KLHK selaku Turut Tergugat.

Proses upaya hukum banding yang diajukan oleh Chandra Gunawan alias Ayau selaku tergugat akhirnya kandas, karena majelis hakim Kasasi dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan Gugatan penggugat untuk seluruhnya.

Juga menyatakan perbuatan Tergugat adalah  perbuatan melawan hukum dan dinyatakan bahwa objek status lahan seluas 173 hektare adalah berada dalam kawasan hutan.

Kemudian dalam putusan itu, “menghukum tergugat untuk menghentikan seluruh aktivitas di atas objek perkara dan mengeluarkan seluruh karyawan dan pekerja Tergugat dari dalam objek Perkara .berikut beserta tanaman kelapa sawit dan mengembalikan objek sengketa perkara kepada Negara Kesatuan RI .dalam hal ini Kementerian LH dan Kehutanan dan menghukum tergugat untuk membayar Seluruh biaya perkara yang timbul.

Dalam isi amar putusan majelis hakim kasasi tertanggal 2 Desember 2019 lalu, cukup jelas menyatakan memerintahkan tergugat untuk menghentikan seluruh aktivitas diatas objek perkara dan mengembalikan objek perkara kepada Negara melalui Kementerian KLHK.

Terkait hal ini timbul berbagai pandangan dan tanggapan ditengah masyarakat yang mengatakan "Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum namun tidak dilakukan eksekusi oleh penggugat menduga ada permainan antara penggugat dan tergugat”.

Berdasarkan data dan informasi yang dirangkum, setelah Penggugat menerima putusan kasasi tersebut Penggugat sudah pernah mengajukan permohonan eksekusi ke pihak Pengadilan Negeri Rokan Hilir, (PN Rohil).

Namun dalam proses permohonan eksekusi yang diajukan pihak Yayasan atau Penggugat terkesan ada yang janggal, alasannya permohonan eksekusi yang pernah diajukan Pemohon tertanggal 12 Januari 2021, lalu kembali pihak Yayasan selaku penggugat menunda melanjutkan permohonan eksekusi karena alasan kondisi keuangan yayasan atau lembaga yang tidak mencukupi.

Selain itu beberapa informasi yang didapat awak media dari beberapa narasumber yang namanya tidak mau disebutkan dalam pemberitaan ini,   penundaan permohonan eksekusi terhadap objek perkara ini diduga kuat telah terjadi kongkalikong atau perundingan antara Penggugat dan Tergugat agar Penggugat atau pemohon eksekusi tidak meneruskan permohonan eksekusi tersebut .sehingga diduga tergugat masih terus berani menguasai atau mengelola objek perkara karena penggugat tidak akan mengajukan eksekusi lagi ke PN Rohil.

“Adapun alasan penundaan atau dihentikannya eksekusi ini menurut narasumber, dikuatkan dengan adanya temuan surat pernyataan yang dibuat dikertas kop Surat Yayasan dan ditanda tangani oleh Pengurus Yayasan selaku Penggugat, yang mana dalam isi surat pernyataan tersebut menyatakan bahwa Penggugat menghentikan atau tidak akan melakukan eksekusi lagi terhadap perkara tersebut dengan alasan sesuatu hal yang tidak dapat disebutkan dalam surat pernyataan ini, "Demikian isi point nomor 2 dalam surat pernyataan Pemohon Eksekusi tertanggal 17 Juni 2020.tersebut”.

Namun bukti surat pernyataan yang ditanda tangani oleh Ketua dan Sekretaris yayasan tersebut menjadi pertanyaan, "Surat itu dibuat  untuk Keperluan Siapa !!  Dan Untuk Keperluan Apa !?," ujar Narasumber tersebut kepada media ini.

Terkait hal ini, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Bagan Siapi-api M.Arifin SH selaku perpanjangan tangan Kementerian LHK didaerah saat dimintai tanggapannya, menjelaskan bahwa Objek Perkara sampai saat ini belum ada dilakukan eksekusi karena pemohon eksekusi atau Penggugat belum mengajukan eksekusi," jawabnya melalui WhatsApp nya beberapa waktu lalu .

Saat ditanya kenapa pihak KLHK tidak mengajukan eksekusi terhadap objek perkara karena putusan perkara ini Objek dikembalikan ke Negara melalui KLHK selaku pihak turut tergugat, dalam perkara ini," M. Arifin SH, menjawab “itu kewenangan KLHK pak," Jawabnya .

Sementara itu praktisi Hukum Hazizi Suwandi, S.H., M.H. saat diminta tanggapannya dalam hal ini mengatakan, "Dalam hal proses eksekusi memang hak menjalankan eksekusi adalah pihak dari pengadilan yang mana Pelaksanaan eksekusi terdiri dari ketua pengadilan negeri, panitera, dan juru sita atas permohonan para pihak," Ujarnya ,Selasa (29/11/22).

Dalam hal ini, Ketua pengadilan negeri, secara ex-officio, adalah pihak yang berwenang memimpin dan memerintahkan eksekusi sengketa perdata (Pasal 54 ayat (2) UU. No. 48 tahun 2009)," terangnya.

"Terlepas dari eksekusi dilakukan atau tidak tergantung dari pemohon eksekusi, dan setelah diajukan permohonan eksekusi barulah berjalan proses aanmaning yang dilakukan sidang insidental, terlepas hasil dari sidang insidental kembali kepada para pihak," Terangnya.

Hazizi Suwandi menjelaskan  terkait siapa saja yang berhak melakukan eksekusi adalah para pihak yang berperkara, Artinya KLHK menurutnya dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap objek perkara, karena dalam amar putusan perkara kasasi jelas disebutkan Objek Perkara.

Sal;ah satu tokoh masyarakart Rohil, Atuk Mijan berharap terhadap penguasaan lahan negara ini agar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, Prof. Dr. H. Mohammad Mahfud Mahmodin, S.H., S.U., M.I.P. atau yang lebih dikenal dengan nama Mahfud MD, agar mendesak Kejaksaan Agung menurunkan tim ke Riau merampas harta negara dari tangan madia itu.

“Selaku pengacara negara kita minta pak Mahfud mendesak Kejaksaan agar mengeksekusi lahan negara yang dikuasai mafia di Riau. Pak Mahfud di Riau negara kalah dengan mafia, mohon pak Mahfud ikut bicara,” kata Atuk Mijan.

Seperti janji Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD akan menuntaskan persoalan mafia tanah, salah satunya dengan membentuk tim lintas kementerian dan lembaga pemerintah non-kementerian (K/L), termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kata Atuk Mijan ditunggu warga Riau.

"Mafia-mafia juga akan kami selesaikan dan kami sudah sepakat untuk segera membentuk tim lintas kementerian dan lembaga, termasuk KPK, untuk melakukan prosedur dan melakukan penilaian atas ini semua. Saya akan tindak lanjuti," kata Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/5/22) lalu.

Ia juga menjamin Pemerintah dan aparat penegak hukum akan sangat tegas menindak siapa pun yang terlibat dalam tindak pidana mafia tanah, Kami waerga Riau menunggu pak Mahfud ketegasan negara,” pungkasnya.**