Kadis ESDM Ingatkan Pusat Pengelolaan Tambang Sesuai Qanun, CERI ; Kebijakan Bahlil Dikhawatirkan Buka Luka Lama Di Aceh

Kadis ESDM Ingatkan Pusat Pengelolaan Tambang Sesuai Qanun, CERI ; Kebijakan Bahlil Dikhawatirkan Buka Luka Lama Di Aceh

Aceh - Presiden Jokowi harus memberikan peringatan keras kepada Menteri Investasi atau Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, pasalnya menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, Bahlil dengan seenaknya saja dan terkesan arogan dalam menerbitkan dan mencabut izin pertambangan di Aceh.

“Kearoganan itu Bahlil saya dengar tanpa berkordinasi terlebih dahulu dengan Gubernur Aceh. Jangan sampai kebijakan Bahlil, bisa menimbulkan ketegangan baru antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh,” kata Yusri Usman pada kabarriau.com Selasa (11/10/22).

“Kebijakannya itu tak baik dan bisa berpotensi membuka luka lama rakyat Aceh akibat korban konflik masa lalu,” ulas Yusri.

Bahlil kata Yusuri, telah sengaja melanggar Undang Undang nomor 11 Tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh (UUPA), khususnya Pasal 165 menegaskan kewenangan penerbitan dan pencabutan izin pertambangan itu merupakan hak penuh Pemerintah Aceh. “Jangan diterjemahkan lain lah,” kata Yusri melanjutkan kekecewaannya.

Kegalauan Yusri itu ditanggapi dan disambut langsung oleh Ir. Mahdinur, MM. selaku Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh, “tanggapan kami terhadap adanya pencabutan beberapa IUP yang berada di wilayah Aceh oleh BKPM, termasuk salah satunya PT Linge Mineral Resources yang berlokasi di Aceh Tengah.

“Dapat kami sampaikan bahwa berdasarkan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, bahwa dalam Pasal 7 ayat 1 dan 2 disebutkan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi 

kewenangan pemerintah yaitu urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri,” katanya dalam surat yang dikirimkan langsung kepada kabarriau.com.

Selain itu katanya, “pertanahan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat 1 dan ayat 2 disebutkan Pemerintah menetapkan 

norma, standar dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota tanpa mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 7”.

Kemudian jelas Mahdinur, dalam Pasal 156 ayat 1 dan Ayat 2 ditegaskan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota mengelola sumber daya alam meliputi pertambangan mineral, batubara baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai kewenangannya.

“Sejak terbitnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kewenangan pengelolaan mineral dan batubara di provinsi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Namun lihat pada Pasal 173A dijelaskan pengalihan kewenangan tersebut tidak berlaku bagi Provinsi yang memiliki Undang-Undang keistimewaan dan kekhususan serta mengatur secara khusus pengelolaan mineral dan batubara di dalam aturan kekhususan tersebut,” katanya.

Lanjutnya sambung Mahdinur, “berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tersebut di atas secara tegas menjelaskan bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan dalam pengelolaan mineral dan batubara”.

“Sebagai tindak lanjut dari amanat Pasal 270 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pengelolaan mineral dan batubara di Aceh telah diatur secara khusus dalam Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan 

Batubara sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang perubahan atas Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara,” tukas Mahdinur.

Selanjutnya sambung dia, “dalam Lampiran CC Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh dijelaskan bahwa pemberian izin usaha pertambangan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah yang berada pada wilayah lintas Provinsi serta wilayah laut lebih dari 12 mil dari garis pantai.

Kemudian dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 118/4773/OTDA tanggal 22 Juli 2021 hal Kewenangan Mineral dan Batubara di Aceh, dinyatakan bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus pengelolaan Mineral dan Batubara”.

“Bahwa berdasarkan ketentuan peraturan perundangan yang saya sebutkan di atas, Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan sepenuhnya dalam pengelolaan sumberdaya mineral dan batubara di Aceh, baik dalam hal pemberian izin maupun pencabutan izin. Sehingga terhadap beberapa IUP di wilayah Aceh yang telah dicabut oleh Pemerintah Pusat bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangan tersebut,” katanya.

Terhadap pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terhadap PT Linge Mineral Resources (PT LMR) Nomor 20220405-01-92695 tanggal 5 April 2022, Mahdinur menjawab, “menurut hemat kami, Pemerintah Aceh tidak menerima surat yang ditujukan secara langsung maupun tembusan terkait pencabutan tersebut”.

“Surat yang diterima hanya bersifat diteruskan melalui e-mail kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh. Sementara Surat Pembatalan Izin Nomor 20220829-08-01-0043 tanggal 30 Agustus 2022 sampai saat ini belum kami terima/belum mengetahuinya,” katanya.

“Dapat kami sampaikan juga bahwa PT LMR merupakan pemegang IUP (berstatus Penanaman Modal Asing) di bawah kewenangan Pemerintah Pusat sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Terkait dengan pencabutan dan keputusan pembatalan IUP PMA merupakan kewenangan Pemerintah Pusat,” katanya lagi.

Menanggapi IUP PT LMR yang telah dicabut oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini BKPM sesuai dengan kewenangannya, maka wilayah izin usaha pertambangan yang telah dicabut tersebut akan menjadi wilayah bebas.

“Jika di kemudian hari ada pihak yang mengajukan permohonan izin yang baru di wilayah bebas tersebut, adalah menjadi kewenangan Pemerintah Aceh sesuai ketentuan peraturan perundangan tersebut di atas,” pungkasnya.

Banyak pihak di Aceh meminta Bahlil harus segera membatalkan Surat nomor 20220829-08-01-0043 tertanggal 30 Agustus 2022 tersebut, “isinya menyatakan mencabut Surat Keputusan nomor 20220405-01-92695 tanggal 5 April 2022, yaitu menyatakan telah mencabut IUP Eksplorasi PT Linge Mineral Resources”.

“Pencabutan IUP PT Linge Mineral Resources itu sudah sejalan dengan keinginan mayoritas rakyat Aceh, faktanya sudah sejak tahun 2018 hingga saat ini selalu berlangsung demo penolakan dari segala unsur masyarakat setempat, bahkan sempat terjadi perusakan atau pembakaran perlengkapan kerja PT Linge,” kata tokoh Aceh.

“Patut disesalkan surat Bahlil yang telah mengizinkan kembali PT Linge beroperasi kembali rakyat Aceh, khususnya di  Aceh Tengah akan bisa menimbulkan penolakan masif dalam bentuk demo berjilid jilid dan berpotensi anarkis, itu harus dihindari,” kata tokoh ini.**