Persoalan Kawasan Hutan TNTN “Berat”, DLHK Riau; Itu Langsung Dari KLHK, Kami Tidak Ikut Campur

Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Yang Dirambah Dialih Fungsikan Menjadi Perkebunan di Kabupaten Pelalawan (Dok.red)
Pekanbaru - Pernyataan yang disampaikan oleh Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Heru Sutmantoro, S.Hut, MM, yang mengungkapkan secara blak-blakan terkait kondisi terkini yang dialami oleh kawasan TNTN yang berada di Kabupaten Pelalawan, mendapatkan respon Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau.
Diketahui saat ini, hutan primer di kawasan ini hanya menyisakan 13 ribu hektar dari luas total 81 ribu hektar.
Saat dikonfirmasi, Alwamen,Kabid Perubahan Iklim, Pengelolaan Limbah Padat Domestik dan Peningkatan Kapasitas, mengatakan bahwa memang wilayah TNTN langsung di bawah Kementrian LHK dan dalam hal ini DLHK tidak ikut campur.
“Itu langsung dari KLHK, kita tak pernah masuk ke wilayah itu,” kata Alwamen saat dikonfirmasi awak media, Kamis (22/9/22).
Saat disinggung mengenai apakah selama ini pihak DLHK dengan TNTN berkoordinasi, Alwamen mengaku bahwa hanya berkoordinasi terkait Karhutla.
“Paling jika nanti ada Karhutla baru koordinasi. Kalau yang lain-lain itu jarang. Karena memang DLHK tidak masuk dalam kawasan konservasi, seperti Tesonilo, Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, kawasan Zamrud, Balai Raja, itu mereka (KLHK) langsung, kita tidak terlibat,” paparnya.
“(Persoalan) Itu adalah wewenang TNTN, bukan DLHK,” pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) mengungkapkan secara blak-blakan terkait kondisi terkini yang dialami oleh kawasan TNTN yang berada di Kabupaten Pelalawan.
Heru Sutmantoro, S.Hut, MM, Kepala Balai TNTN, menjelaskan bahwa saat ini hutan primer di kawasan ini hanya menyisakan 13 ribu hektar dari luas total 81 ribu hektar.
Hal tersebut disampaikannya, ketika awak media mewawancarai Ia kemarin, terkait kondisi kawasan TNTN yang disebut-sebut sebagai penopang paru-paru dunia.
Menurut Heru, berdasarkan data satelit yang dilakukan pada akhir tahun 2021 lalu, hutan alam atau hutan primer di kawasan TNTN terpantau hanya menyisakan 13 ribu hektar.
“Yang pasti luas total kawasan TNTN itu 81 ribu hektar dan berdasarkan identifikasi kita, kros cek ke lapangan dan berdasarkan peta satelit terbaru yakni pada akhir tahun 2021, itu memang menunjukkan ada perubahan, dimana 41 ribu sudah ditanami sawit atau lebih separuh dan 28 ribu kondisi terbuka ditumbuhi semak belukar, 13 ribu hutan alam primer. Jadi jika dikatakan memang hutan alam betul 13 ribu hektar. Kondisinya, memang seperti itu saya masuk satu tahun dan lakukan identifikasi,” ungkap Heru.
Balai TNTN, menurut Heru Sutmantoro sudah berusaha melakukan penyelamatan kawasan ini di lapangan. Ada tiga hal yang ditekankan saat ini dalam fokus menjadi pengelolaan taman nasional.
Langkah pertama adalah penyelamatan dan pelestarian hutan yang tersisa. Dimana hutan primer yang tersisa 13 ribu hektar harus dijaga dengan benar, tidak boleh ada kegiatan illegal logging ataupun perambahan.
Langkah kedua adalah melakukan upaya penegakan hukum. Upaya penegakan hukum tersebut, kata Heru, sudah dilakukan berkali-kali. Terkait areal 28 ribu terdiri lahan terbuka ditumbuhi semak belukar, pihaknya melakukan kegiatan rehabilitasi atau pemulihan ekosistem dengan cara menanam pohon bersama masyarakat melalui kemitraan konservasi. Hal ini dilakukan sejak tahun 2022. Sudah dilakukan rehabilitasi seluas 3.500 hektar serta diupayakan terus bertambah.
Langkah ketiga terkait adanya sawit yang sudah ada sebelumnya undang-undang cipta kerja November tahun 2020, lalu dimasukkan dalam mekanisme penerapan dalam undang-undang ini. Jika di lahan konservasi menurut aturannya, jika berumur lima tahun, di bawah lima hektar, itu yang diakomodir.
Saat ini upaya yang dilakukan adalah, sebagai pengelola kawasan yakni mengindentifikasi penguasaan kebun sawit.
“Kita sudah berhasil mengidentifikasi dari 41 ribu kebun sawit 23 ribu hektar. Kita sudah mengindentifikasi atas nama siapa, luasnya berapa, lokasinya dimana. Kita akan usulkan data yang sudah diidentifikasi ke pusat, di sana nanti menggodok dan memutuskan. Di pusat ini ada satuan yang bertugas pengendali UUCK,” jelas Heru.
Lebih lanjut, Heru mengatakan pada intinya belum ada aturan bahwa sawit dipertahankan selama-lamanya. Dalam UUCK, dikasih waktu 15 tahun sejak undang-undang CK diundangkan. Berarti sawit yang belum masuk UUCK dikasih jangka waktu 15 tahun sejak umur tanam.
Namun, Heru mengatakan kegiatan yang dilakukan pemulihan konservasi seluas 3.500 hektar pola tanamannya adalah selain sawit, seperti melinjo, durian, jengkol, petai dan lain sebagainya.
Heru Sutmantoro menambahkan dari kebun sawit yang sudah diidentifikasi, memiliki luas lahan bervariasi, ada yang 5 hektar, 10 hektar bahkan lebih. Tidak itu saja, bahkan hasil identifikasi yang sudah dilakukan ada juga dikuasai perusahaan.
“Apalagi kemarin itu saya diteriakin, dituduh macam-macam. Kita itu menghadapi TNTN, bukan menghadapi masyarakat miskin, saya itu menghadapi orang-orang kaya, orang-orang berduit, orang-orang berpengaruh yang punya kekuasaan, itulah TNTN yang dihadapi. Makanya, berat, makanya jika Pak Bupati tidak mendukung saya, susah juga," harapnya.
Apalagi di lapangan kemarin itu, kata Heru, ada oknum salah satu kepala desa di lahan tersisa 13 ribu hektar ini, ternyata kepada desa tersebut menerbitkan surat tanah.
“Kemarin sudah saya surati, agar oknum kades mencabut SKT yang sudah terlanjur diterbitkan,” tukasnya.**