Calo Proyek Pengadaan Pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 Jadi Tersangka
Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan penyidikan tindak pidana korupsi (TPK) dalam badan PT Garuda, setelah mendapat penyerahan hasil audit pemeriksaan kerugian negara PT Garuda senilai Rp 8,8 triliun.
Kini Mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan mantan Dirut PT Mugi Rekso Abadi (MAR) Soetikno Soedarjo menjadi tersangka baru dalam kasus Garuda Indonesia. Penetapan kedua tersangka baru tersebut dirilis Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Senin (27/6/22).
Keduanya ditetapkan penyidik Kejagung diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat ATR 72-600 di PT Garuda Indonesia. Sebelumnya, Kejagung juga telah menetapkan tiga tersangka Setijo Awibowo (SA) selaku VP Strategic Management Office Garuda Indonesia 2011-2012, Agus Wahjudo selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery PT Garuda Indonesia 2009-2014 dan Albert Burhan (AB) selaku VP Vice President Treasury Management PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk periode 2005-2012.
"Kami juga menetapkan tersangka baru sejak Senin, 27 Juni 2022, kami menetapkan dua tersangka baru, yaitu ES selaku Direktur Utama PT Garuda. Kedua adalah SS selaku Direktur PT Mugi Rekso Abadi," demikian ungkap Jaksa Agung St Burhanuddin di Gedung Kartika Kejaksaan Agung.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana menjelaskan jika Emirsyah Satar adalah orang yang pertama kali membocorkan rencana pengadaan pesawat kepada Soetikno. Hal tersebut bertentangan dengan pedoman pengadaan armada (PPA) milik PT Garuda Indonesia.
“Tersangka ES membocorkan rencana pengadaan pesawat kepada tersangka SS. Hal ini bertentangan dengan pedoman pengadaan armada (PPA) milik PT Garuda Indonesia," ujar Ketut dalam keterangan tertulisnya, Senin (27/6/22).
Emirsyah saat itu bersama dewan direksi langsung memerintahkan tim pemilihan untuk membuat analisis dengan menambahkan subkriteria dan mempergunakan NPV (net present value). Tujuannya agar Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 dimenangkan atau dipilih.
"Tersangka bersama dewan direksi HS dan Captain AW memerintahkan tim pemilihan untuk membuat analisis dengan menambahkan sub kriteria dengan mempergunakan pendekatan net present value (NPV) dengan tujuan agar Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 dimenangkan atau dipilih," ungkap Ketut.
Setelah itu, perubahan analisis yang diinstruksikan Emirsyah Satar dikirim ke Soetikno Soedardjo. Emirsyah akhirnya menerima imbalan dari manufaktur melalui Soetikno dalam pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600.
Soetikno Soedarjo mempunyai peran penting dalam kasus dugaan korupsi penyewaan pesawat ATR 72-600. Soetikno mempengaruhi Emirsyah untuk menyetujui analisis dari pihak manufaktur.
"Tersangka telah mempengaruhi Tersangka ES dengan cara mengirim analisis yang dibuat oleh pihak manufaktur sehingga Tersangka ES menginstruksikan tim pengadaan untuk mempedomani dalam membuat analisis sehingga memilih Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600," kata Ketut.
Soetikno juga memberikan langsung imbalan kepada Emirsyah Satar dalam proses pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600.
"Tersangka menjadi perantara dalam menyampaikan gratifikasi dari manufaktur kepada Tersangka ES dalam proses pengadaan pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600," lanjut Ketut.
Emirsyah dan Soetikno melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1KUHP.
Dua tersangka baru kasus Garuda Indonesia, Emirsyah dan Soetikno sebelumnya juga terjerat kasus korupsi yang diusut oleh KPK.**