Pakar Energi Angkat Bicara

Antrean Truk Isi BBM Mengular di Sumatera, Dr. Kurtubi; Kekayaan Sumber Daya Energi Besar Pengelolaanya yang Bikin Ruwet

Antrean Truk Isi BBM Mengular di Sumatera, Dr. Kurtubi; Kekayaan Sumber Daya Energi Besar Pengelolaanya yang Bikin Ruwet

Jakarta - Pakar Energi, yang juga anggota DPR-RI 2014-2019 Dr. Kurtubi menyoroti kekurangan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang menyebabkan ribuan truk yang berhari-hari antri solar di berbagai SPBU di Sumatera.

“SPBU kekurangan solar. Padahal Indonesia negeri dengan kekayaan potensi sumber daya energi yang besar. Karena salah kelola, rakyat menderita. Mestinya di saat kondisi dunia secara bersamaan harga komoditas Sumber Daya Energi Dunia yang melejit, negara kita berpeluang besar akan panen ‘cuan’ luar biasa dari ekspor migas, ekspor batubara dan CPO,” ujar dia.

Tetapi faktanya jelas Dr. Kurtubi, “rakyat harus ngantri minyak goreng di seluruh daerah. Sopir truk ngantri solar bersubsidi yang dijatah oleh BPH MIGAS. Jatah solar untuk setiap daerah/SPBU ternyata jauh dibawah kebutuhan dan Pertamina gak berani jual solarnya diatas kuota jatah yang ditentukan oleh BPH Migas. Padahal ada stok solar untuk 20 hari”.

Beber Alumnus CSM Amerika, IFP Perancis dan Universitas Indonesia ini, dari sejak Tahun 1971, pihak yang paling tahu jumlah volume kebutuhan BBM setiap SPBU di setiap daerah adalah PERTAMINA.

“Namun sejak tahun 2001 Tata Kelola Migas diubah, di sisi Hilir dibentuk lembaga baru bernama BPH Migas yang tugasnya antara lain mengatur kuota BBM yang dijual di SPBU. Semestinya lembaga yang bikin ruwet dan tidak efisien ini dikembalikan ke Ditjen Migas agar di hilir kembali ke sistem yang simpel,” kata Dr. Kurtubi.

Demikian juga tegas Dr. Kartubi, “lembaga BP Migas/SKK Migas kembali gabung ke Pertamina, agar Investor HULU Migas kembali bergairah dimana yang menghandle semua perizinan yang dibutuhkan oleh Investor hulu adalah Pertamina sebagai pemegang Kuasa Pertambangan sekaligus sebagai penandatangan Kontrak Bagi Hasil”.

Untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng menurutnya, sebaiknya CPO untuk jangka pendek dilarang Ekspor dulu, guna melakukan perhitungan kuantitatif yang tepat untuk memastikan kebutuhan CPO Dalam negeri yang harus terpenuhi.

“Baik untuk migor karena mendekati bulan puasa dan lebaran maupun untuk kebutuhan Biosolar yang sangat dibutuhkan memperlancar supply logistik dan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari rakyat,” katanya.

Kepada Bergeloracom di Jakarta dilaporkan, sedangkan batubara yang sedang mengalami coal boom. Harga batubara dunia sangat mahal hingga menembus $400/ton. Produksi batubara dalam negeri saat ini juga sangat tinggi.

Menurutnya, saatnya batubara menjadi penolong pertumbuhan ekonomi dengan jalan segera tata kelolanya disempurnakan dan disesuaikan dengan pasal 33 UUD 45 yang mewajibkan pengelolaan SDA Perut Bumi termasuk Batubara ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

“Yaitu, dengan jalan Pemerintah menaikkan Pajak dan PNBP/Royalti batubara sedemikian rupa sehingga penerimaan negara dari Pajak dan Royalti Batubara harus lebih tinggi dari Keuntungan Bersih yg Diterima oleh Perusahaan Batubara.

Bisa dengan jalan mengikuti praktik di Sektor Migas, dimana negara memperoleh 65 % dan Penambang memperoleh 35% dari KEUNTUNGAN BERSIH, setelah Gross Revenues dikurangi Total Cost ( Cost Recovery).

“Praktek di Migas seperti ini selama puluhan tahun terbukti berhail, Produksi dan Export Migas tinggi, Perusahaan Migas Hepi, APBN Hepi. Kalau Negara kita Mengelola SDAnya sesuai Konstitusi dimana sistemnya simpel tidak birokratik dan ada kepastian hukum jangka panjang bagi Investors, maka amat sangat mungkin Indonesia akan menjadi negara industri maju dengan kekuatan ekononi No.4 di dunia pada tahun 2050 seperti yg diprediksi oleh PWC,” pungkasnya.**