Ketika “Darah dan Keringat Buruh Sawit” Sukseskan Program Biodiesel Jokowi

Ketika “Darah dan Keringat Buruh Sawit” Sukseskan Program Biodiesel Jokowi

Pekanbaru - Ditengah keberhasilan pemerintah mengangkat harga komoditi kelapa sawit melalui terobosan biodiesel (B30-B100) menempatkan sektor perkebunan kelapa sawit sebagai penyumbang devisa tertinggi di tengah keterpurukan sektor lainnya.

Namun sangat disayangkan kesibukan Pemerintah menghitung untung dari CPO ternyata mengabaikan perlindungannya kepada buruh perkebunan kelapa sawit yang sering mengalami “penindasan dan diperbudak” oleh perusahaan-perusahaan nakal?.

Minimnya pengetahuan buruh tentang hak-haknya, desakan kebutuhan hidup dan takut kehilangan pekerjaan menjadi faktor utama terjadinya perbudakan di sektor perkebunan kelapa sawit  inilah yang sering dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk meraup keuntungan tanpa harus terbebani oleh kewajiban-kewajiban buruh seperti yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sayangnya, Pemerintah juga terkesan melakukan pembiaran terhadap praktik perbudakan tersebut. Alhasil, alasan demi menjaga iklim investasi yang digaungkan Presiden Joko Widodo itu membuat para pengusaha "Besar Kepala" dan bertindak sewenang-wenang kepada buruh. Hal tersebut disampaikan Koordinator Wilayah Riau Federasi Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (F-SERBUNDO), Mattheus Simamora, Rabu (09/02/22) di Pekanbaru, Riau.

Menurut Mattheus, dari sejumlah investigasinya ciri-ciri perbudakan yang diterapkan oleh para pengusaha perkebunan itu seperti mempekerjakan buruh tanpa status yang jelas di perusahaan, upah murah, target kerja yang tinggi, pembayaran premi murah, tidak merealisasikan hak normatif, mempekerjakan anak dibawah umur, tidak mendaftarkan pekerja ke dalam jaminan sosial (BPJS Ketenagakerjaan) serta pengekangan terhadap kebebasan berserikat yang masih sering terjadi.

Lanjut Mattheus, union busting atau pemberangusan serikat pekerja juga sering dilakukan oleh perusahaan-perusahaan nakal dengan berbagai macam cara. Dan F-SERBUNDO dari awal telah berjuang dan melakukan perlawanan terhadap hal tersebut.

"Pasti di dalam perusahaan itu ada yang tidak beres dan berlawanan dengan peraturan perundang-undangan. Bisa saja masalah upah, kesejahteraan atau hak normatif lain yang selama ini tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan. Makanya selalu terjadi penghalang-halangan berserikat terutama kepada serikat independen seperti  F. SERBUNDO ini," imbuhnya.

"Kita sering menemukan kasus-kasus tersebut di sejumlah perusahaan di provinsi Riau, dan beberapa diantaranya sedang kita perjuangkan untuk mendapatkan keadilan. Seperti yang saat ini sedang kita adukan ke pihak Disnakertrans provinsi Riau terkait Hak Normatif di PT. RAS dan penghalang-halangan berserikat di PT. GSI (First Resources). Dan akan menyusul pengaduan baru yang akan kita layangkan terkait mempekerjakan anak dibawah umur di salah satu anak perusahaan First Resources yang berhasil kita abadikan beberapa waktu lalu," ujar Mattheus.

Menurut Mattheus tingginya target kerja dan premi murah memaksa pekerja melibatkan istri dan anak sebagai helper saat melakukan pekerjaan pemanenan agar mendapatkan tambahan penghasilan. Biasanya pekerjaan helper itu mulai dari menyusun pelepah, mengutip brondolan dan mengangkut TBS ke tempat pungumpulan hasil.

"Pihak perusahaan tentu akan berdalih sudah melarang pekerjanya melibatkan istri dan anak, tetapi faktanya beban kerja yang tinggi dan premi murah tetap diterapkan. Sehingga mau tak mau buruh tetap akan melibatkan keluarga nya saat bekerja. Kita pernah menganjurkan pekerja yang tergabung dalam SERBUNDO di salah satu perusahaan terafiliasi dalam First Resources agar bekerja sesuai basis yang ditentukan oleh perusahaan, tetapi pihak manajemen dengan berbagai macam cara mengintimidasi para pekerja. Contohnya koperasi tidak akan memberikan pinjaman kepada pekerja yang hanya mengambil basis dan memberikan Surat Peringatan (SP)," ungkap Mattheus.

Lanjut Mattheus, “itukan sama saja dengan perbudakan terselubung. Sangat disayangkan hal-hal yang seperti ini tidak menjadi perhatian bagi pemerintah, dalam hal ini Dinas terkait. Selain itu, pihak perusahaan tentunya sering menutup-nutupi hal tersebut, sehingga di mata pemerintah seolah-olah pihak perusahaan telah menjalankan usahanya sesuai dengan aturan," ulas Mattheus. 

Kasus-kasus perbudakan terhadap buruh yang terjadi pada perusahaan perkebunan kelapa sawit ini tentunya kita akan rangkum menjadi satu bahan koreksi atas terbitnya sertifikasi atau keanggotaan perusahan tersebut dalam Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) atau Roundtable on Sustainable Palm Oil.

"Bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan yang bermasalah dengan hak-hak normatif buruh bisa mendapatkan sertifikasi ISPO atau RSPO. Sedangkan dalam pasal 8 hingga pasal 14 Perpres 44/2020 disebutkan pelaku usaha wajib menerapkan praktik perkebunan yang baik dan tercantum juga tentang tanggung jawab ketenagakerjaan. Singkatnya, untuk perusahaan-perusahaan yang saya sebutkan tadi harus diaudit ulang jika memang sudah mendapatkan sertifikasi. Namun jika sedang dalam pengajuan kita minta agar ISPO atau RSPO menolaknya, karena akan menjadi rantai pasok CPO Ilegal," pungkas Mattheus.

Menjawab hal itu dicoba dikonfirmasi pada Direktur Surya Dumai, Harianto Tanu Mulyono, belum menjawab, sementara Kabid Pengawasan Dinas Tenaga Kerja Prov Riau, Imron, mengaku kasus ini dalam proses “Insha Allah segera ditindak lanjuti, sabar ya,” jawab Imron singkat, Kamis (17/2/22) sore.**