Gajah Ngamuk Dituding Karena Ini, YRHW: Ada Label Apkasindo dan Oknum Di Belakang Cukong Perkebunan Sawit Ilegal Riau

Gajah Ngamuk Dituding Karena Ini, YRHW: Ada Label Apkasindo dan Oknum Di Belakang Cukong Perkebunan Sawit Ilegal Riau

Pekanbaru - Mungkin ulah-ulah orang yang bertanggung jawab inilah (mafia lahan) yang membuat gajah di Riau terus berebut lahan makan dengan masyarakat, misalnya dengan menggundul tempat habitat asli gajah di kawasan hutan maupun di hutan lindung.

Contoh kecil yang dekat dengan pelupuk mata yang berada di dalam kawasan hutan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim, ditemukan YRHW, nama Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) muncul membela anggotanya, mereka diduga menjadi ‘beking’ dengan label sebagai pembina salah satu kelompok tani di Kota Garo, Tapung Hilir, Kampar yang berada dalam kawasan hutan”.

"Lahan kelompok tani ini pernah disegel oleh Satgas Pemberantasan Kebun Ilegal Provinsi Riau yang dibentuk Gubernur Riau pada tahun 2019 lantaran perkebunan tersebut berada di dalam kawasan hutan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Syarif Hasyim. Kami sangat heran, setelah disegel itu, muncul plang nama kelompok tani yang pada plang itu juga menyebutkan nama penasehat hukum dan Apkasindo sebagai pembina. Ini ada apa sebenarnya?," ungkap pegita lingkungan dari Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) dan YRHW Tri Yusteng Putra.

Belakangan, lanjut Yusteng, santer terdengar nama Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko sebagai pembina Apkasindo. "Kami minta juga supaya kondisi ini menjadi perhatian Presiden. Jangan sampai masyarakat menganggap KSP menjadi beking Apksindo yang diduga melindungi cukong perkebunan sawit ilegal dengan kedok kelompok tani," ujar Yusteng.

Kata Ketua YRHW, “peraturan pemerintah tersebut tidak sejalan dengan komitmen Presiden Joko Widodo sebagai Presidensi G20 untuk menurunkan emisi karbon di forum internasional”.

Tak hanya itu, menurut Yusteng, Apkasindo yang dipimpin Gulat ME Manurung, diduga membekingi para cukong-cukong yang membuka perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, setidak-tidaknya di Provinsi Riau, dengan kedok mengedepankan nama petani.

"Kami sudah melakukan investigasi, bukti-bukti permulaan juga kami lengkapi. Sehingga saat ini kami tidak ragu lagi untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung," imbuh Yusteng.

Sementara mengenai kawasan Tahura SSH, Pembina Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI), Hariyanto menjelaskan, pihaknya juga menemukan adanya sertfikat tanah hak milik dan Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR) yang diduga dikeluarkan oleh Kepala Desa Kota Garo. 

"Kami punya bukti lengkap mengenai hal ini, luas Tahura awalnya sekitar 617.200 hektar ironisnya sekarang hanya tersisa 800 hektar. Bagaimana ini bisa terjadi? Pemerintah kemana? Aparat penegak hukum kemana?," ungkap Hariyanto.

Hariyanto di Pekanbaru, Minggu (13/2/22), mengungkapkan pihaknya menduga peraturan pemerintah tersebut justru melegalkan perusakan hutan yang sudah terjadi selama ini.

Dengan temuan ini Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) dan Yayasan Riau Hijau Watch (YRHW) menyatakan sedang menyiapkan gugatan untuk membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan. LPPHI dan YRHW sedang menyiapkan gugatan tersebut untuk didaftarkan ke Mahkamah Agung RI.

Sementar warga Riau, Ronny berharap, gugatan kedua lembaga ini (LPPHI dan YRHW) jangan hanya gertak sambal atau seperti yayasan terdahulu (?) yang sering menggugat Ke Pengadilan yang ujungnya ikut memperkaya diri dari hasil gugatan ini.

“Itu dulu-dulu ada lembaga menggugat, tapi kebun tersebut tak pernah dieksekusi kemudian terdengar mobilnya malah mewah-mewah. Selidik punya selidik ternyata dapat fee dari yang digugat,” katanya.**