Siaran Pers Bersama, Walhi; Ketakutan dan Krisis Tahun Baru

Siaran Pers Bersama, Walhi; Ketakutan dan Krisis Tahun Baru

Jakarta - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia ( WALHI ) Jawa Barat berpandangan  eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam masih mendominasi. Sebagai akibatnya laju kerusakan lingkungan hidup akan bertambah cepat.

Menurunnya kualitas lingkungan hidup yang rusak akan berdampak pula pada kualitas sosial masyarakat. Persoalan kesehatan, kemiskinan, dan bencana selalu muncul di saat lingkungan hidup tidak lagi menjadi pijakan. Aspek lingkungan hidup hanya dijadikan syarat formalitas saja.

Dimana saat ini kita telah melewati tahun 2021 yang dipenuhi konflik sumber daya alam, lingkungan, dan bencana alam. Menurut Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat, Wahyudin, faktor penyebab menurunnya kualitas lingkungan hidup di Jawa Barat ke depannya berasal dari proyek strategis nasional dan provinsi. Untuk PSN  di antaranya, 12 jalan tol, 2 pelabuhan, 5 jalur kereta, 6 bendungan, dan 1 tanggul pantai.

“Beragam proyek itu tentu  mengalihfungsikan lahan produktif pertanian dan hutan. Kebutuhan bahan baku proyek akan mengarah pada maraknya aktivitas pertambangan,” kata Wahyudin dalam sebuah rilis yang dilihat redaksi kabarriau/babe, Kamis (27/1/22). 

“Masuk di tahun 2022 ini, Kami perwakilan organisasi lingkungan, lembaga bantuan hukum, dan media memandang gejolak konflik perebutan ruang serta praktik kotornya akan semakin menggila. Itu sangat beralasan mengingat  selain belum tuntasnya penyelesaian masalah di tahun-tahun yang lalu, ke depannya sudah terlihat bayangan potensi konflik lain yang akan marak,” katanya.

Selain itu menurutnya, penambahan dan perluasan kawasan industri di empat koridor utara, selatan, barat, dan timur Jawa Barat akan semakin memperburuk kondisi lingkungan tatar sunda. Kawasan industri akan mencemari tanah, air, dan udara. Sementara itu di sektor tutupan lahan hutan Jawa Barat hanya 18% dari luas wilayahnya. Yang berarti luas kawasan hutan di Jawa Barat semakin berkurang. 

Hal senada juga disampaikan oleh oleh Forum Komunikasi Kader Konservsi ( FK3I ) Jawa Barat. Menurut Koordinator FK3I Jawa Barat , Dedi Kurniawan diawali tahun ini penting kita meneropong kekhawatiran dan ketakutan kedepan karena krisis hutan sudah terjadi.Sikap Pemerintah dalam mencabut Ijin Usaha Hutan perlu disikapi secara politik dan cermati agar advokasi terhadap negara tidak terkecoh oleh Keputusan yang bias.

“Kami memandang pencabutan Ijin Usaha Hutan perlu diiringi dengan sangsi dan denda terhadap perusahaan yang dicabut ijin usahanya. Karena kondisi lapangan kelola usaha hutan yang dicabut ijinnya nyaris telah mengakibatkan kerusakan hutan dan ketakutan akan dampak yang akan dan sedang terjadi seperti bencana ekologi,” katanya.

Sehingga jangan sampai pencabutan izin usaha hutan hanya bersifat administratif tapi juga harus bersifat solutif terhadap rencana kelola kedepan. Ini akan kita lihat kedepan sebagai ketakutan baru dari dampak sikap negara yg terkesan baik namun masih bias langkah kedepan setelah pencabutan tersebut.

“Ini pertanyaan besar dibalik hebohnya pencabutan  izin perusahaan.Di samping itu diluar beberapa perusahaan yang dicabut izin nya masih ada dan tidak sedikit perusahaan yang saat ini belum/tidak melaksanakan kewajiban nya. Kami ambil contoh kehilangan hutan akibat  pelepasan kawasan hutan dan IPPKH,” Kata Dedi Kurniawan.

Kita penting terus mengawal dan memeriksa kondisi lapangan dan sosial agar keputusan tersebut nyata dan murni berpihak pada perbaikan hutan dan kesejahteraan masyarakat secara adil dan berdaulat demi kepentingan ekologi dan kepentingan sosial ekonomi kerakyatan. 

Ada beberapa IPPKH gagal melaksanakan kewajiban lahan kompensasi ( Lakom ) yang diamanatkan sehingga kawasan hutan kita bukan hanya rusak akan tetapi hilang.Kami menemukan fakta setidaknya ada 32 kegiatan usaha dari 3 BUMN yang menggunakan kawasan hutan, namun belum melaksanakan kewajiban memberikan lahan kompensasi.  Secara keseluruhan luas IPPKH dari kegiatan tersebut sebesar 1.628,87 hektar dan lahan kompensasi untuk luasan itu sebesar 3.257,75 hektar.

“ Ironis pula disaat UUCK disahkan selain batasan kawasan Hutan dihilangkan yg kami indikasikan agar semua aturan perusakan bisa masuk karena regulasi diabu-abukan.Juga muncul PP 23 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan di mana ada pasal dan bab yang menyatakan ganti kawasan akan cukup diganti dengan uang melalui PNBP dan atau sejenisnya.Nyaris tidak melihat keseimbangan.Ketika hutan ganti uang.Karena jika memang pembangunan benar benar strategis untuk kepentingan rakyat banyak sebaiknya hutan ganti hutan, “ ucap Dedi Kurniawan menambahkan.

Sementara  itu  dilihat dari aspek tata ruang Media Tata Ruang memandang ada beberapa hal yang dianggap perlu perhatian khusus, yaitu : 

  1. Aspek Kehutanan - Pelepasan hutan yang begitu masif dan perubahan tanpa menghitung nilai ekologi (Ecologis values) yang akan sangat berdampak kepada perubahan tanpa adanya ketegasan dari aturan aturan dan penegakan aturan yang sangat kompromis terhadap sektor dunia usaha. Seperti hilangnya peraturan Luasan Kawasan 30 % diganti dengan adanya daya tampung dan daya dukung yang menurut masih sangat bias peraturannya.

  2. Aspek Perencanaan Pembangunan infrastruktur - Sangatlah masif yang dipastikan memberikan nilai terhadap pembangunan insfrastruktur tersebut akan tetapi pembangunan yang masif itu belum memberikan efek maksimal karena aspek perencanaan dari penataan ruang yang belum bisa atau tidak adaptif akan terjadinya daerah pertumbuhan ekonomi baru. Dan pembangunan tersebut terkesan barbar karena banyak dari proyek infrastruktur itu tidak mengikuti Peraturan perencanan RTRW, RDTR dll bahkan kecenderungan peraturan mengikuti proyek infrastruktur. Hal ini sangat mengkhawatirkan seperti contoh KCIC, Rebana, Tol  dan lainya. 

  3. Aspek Penertiban, Pengendalian dan pemanfaatan ruang - Aspek ini masih belum dirasakan secara masif meski beberapa sudah ada yang patut kami apresiasi. Walaupun belum dirasakan oleh masyarakat umum, seperti penertiban atas pelanggaran pelanggaran penataan ruang yang kami pandang tidak memberikan efek jera akan perusak ruang bahkan kami menilai adanya dugaan Pelanggaran selain pelanggaran Penataan ruang. Seperti dibeberapa kasus terjadinya tindak pidana Korupsi dan gratifikasi atas penyelesaian permasalahan pengendalian ruang tersebut, adanya praktek praktek tersebut dikarenakan tidak terbukanya informasi dari pihak berwenang seperti banyaknya kepwal yang diterbitkan tanpa ada keterbukaan dan pendetailan informasi dan masyarakat tidak dilibatkan. Seperti Moxi, Pullmam, Podomoro dll. 

Selain itu, persoalan ancaman rusaknya lingkungan hidup kedepan karena faktor-faktor yang dijelaskan di atas, mengancam juga keselamatan rakyat. Lembaga Bantuan Hukum ( LBH ) Bandung dalam hal ini  berpandangan bahwa ruang advokasi bagi masyarakat semakin dipersempit dan terus mengalami ancaman kriminalisasi. Pasal 39 UUCK yang merubah dan menambah dari pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang semakin menguatkan pasal pidana yang sering digunakan untuk mengkriminalisasi warga. Selain into UUCK mempersempit pelibatan masyarakat yang kemudian hanya dimaknai sebagai pelibatan masyarakat terdampak langsung, dimana sebelumnya dalam UUPPLH pelibatan masyarakat ini termasuk pemerhati lingkungan dan/atau yang terpengaruh terhadap segala bentuk keputusan yang memiliki dampak lingkungan. Selain UUCK, UU ITE juga masih digunakan untuk membatasi ruang gerak dan mengkriminalisasi warga yang melakukan perjuangan hak-hak lingkungan. Hal ini menunjukkan ruang masyarakat untuk memperjuangkan lingkungan yang baik dan sehat masih belum mendapatkan perlindungan dari negara.**