CERI tidak Sependapat Bila Ada Mengatakan Premium Dihapus di SPBU Karena Nafia Migas

CERI tidak Sependapat Bila Ada Mengatakan Premium Dihapus di SPBU Karena Nafia Migas

Jakarta - Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman tidak sependapat bila ada yang mengatakan BBM jenis Premium Ron 88 sulit dihapus di SPBU Pertamina karena mafia Migas.

"Saya sangat tidak sependapat bila ada yang mengatakan BBM jenis Premium Ron 88 sulit dihapus di SPBU Pertamina karena mafia Migas, jelas ini pendapat asal bunyi alias asbun," ungkap Yusri, Selasa (28/12/21).

Yusri mengatakan, jika dipercaya pendapat asbun itu, maka sama saja menuduh bahwa Presiden Jokowi bagian dari mafia Migas.

"Karena keberadaan Premium di SPBU Pertamina disebabkan oleh Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018  tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM yang merupakan perubahan Perpres Nomor 191 tahun 2014, semuanya ditandatangani oleh Presiden Jokowi," jelas Yusri.

Lebih lanjut Yusri mengutarakan, jelas dikatakan di dalam Perpres tersebut bahwa BBM Premium adalah BBM Khusus Penugasan dan wajib disediakan oleh Pertamina di SPBU yang wilayah peredarannya ditetapkan oleh Pemerintah.

"Jadi sekali lagi penegasan saya bahwa Premium bukan BBM Subsidi, tetapi BBM Khusus Penugasan. BBM Subsidi tetap hanya Solar dan Minyak Tanah, termasuk jenis BBM Tertentu," ujar Yusri.

Karena termasuk BBM Khusus Penugasan, lanjut Yusri, maka harga eceran di SPBU ditetapkan oleh Pemerintah sesuai Pasal 14 ayat 8, ayat 9 dan ayat 10 Perpres Nomor 43 tahun 2018.

"Namun, jika harga keenomian premium lebih tinggi dari harga eceran SPBU, sebagai konsekwensi penugasan kepada Pertamina sesuai Undang Undang BUMN, Pemerintah wajib memberikan kompensasi kepada Pertamina atas kerugian dari penugasan," lanjut Yusri.

Sehingga, kata Yusri, soal keberanian menghapus BBM Premium dan Pertalite sangat tergantung keberanian Presiden memutuskannya dengan segala konsekwensinya.

"Mengingat, BBM Premium itu harganya sangat terjangkau oleh rakyat bawah, digunakan sebagai angkutan umum dan angkutan barang di kota-kota hingga desa-desa," ungkap Yusri.

"Apalagi dalam kondisi pandemi Covid 19 selama dua tahun ini, telah banyak menurunkan daya beli rakyat. Sehingga penghapusan BBM Premium dalam jangka waktu dekat tentu akan beresiko menimbulkan gejolak harga kebutuhan pokok dan berpotensi mengakibatkan gejolak sosial masyarakat di bawah yang lagi terpuruk daya belinya. Itu hampir pasti," lanjut Yusri.

Selain itu, Yusri juga mengungkapkan, proyek Refinery Develoment Master Plan (RDMP) untuk kilang-kilang Pertamina, belum ada yang beroperasi hingga saat ini.

"Paling cepat beroperasi pada tahun 2023 untuk kilang Balikpapan, sementara  Kilang yang ada sejak dulu memang dirancang untuk memproduksi banyak Premium dan Solar, sebagian Pertamax untuk kalangan mampu," ulas Yusri.

Premium, kata Yusri, merupakan percampuran 80%  High Octane Mogas Component (HOMC) dengan 20% light Naftha ekses dari kilang-kilang.

"Malah, jika Premium dan Pertalite segera dihapus, sementara kilang RDMP belum ada yang beroperasi, saya pastikan impor Pertamax akan meningkat tajam, sudah pasti importir akan berpesta pora," imbuh Yusri.

Jika itu terjadi, maka Light Naptha ekses kilang menjadi beban Pertamina, karena kilang Olefin belum terbangun, dan unit isomerisasi  belum tersedia disemua kilang, hanya ada di kilang Cilacap dan Balongan saja, yakni unit yang mampu mengkonversi octan Light Naptha 60 an menjadi 84 sampai 85 sehingga jadi produk bernilai.

Selain itu, akibatnya yield gasoline akan turun signifikan dengan hilangnya fraksi Light Naptha, kemudian bagaimana dengan fraksi lainnya, misal Solar yang sekarang sudah ada penambahan Fame, ini semua akan berdampak pada produksi gasoline.

"Oleh sebab itu, kita tunggu keberanian Presiden Jokowi menghapus Premium dan Pertalite di seluruh SPBU Pertamina sesegera mungkin, agar kita bisa saksikan siapa yang akan berpesta pora," tutup Yusri.**