Terdakwa Karhutla Pemilik Tanah Pribadi Lega

Pakar Lingkungan Dr Elviriadi: UU No.32 Tahun 2009 Tidak Terapkan Sanksi Individu

Pakar Lingkungan Dr Elviriadi: UU No.32 Tahun 2009 Tidak Terapkan Sanksi Individu

Pekanbaru - Menyikapi kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla) yang diangkat ke pengadilan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Pakar Lingkungan Nasional di Riau, Dr.Elviriadi, M.Si., mengaku telah mempelajari dan menelaah fakta lapangan di Kecamatan Rupat Utara, Kab Bengkalis.

"Saya diminta menyelidiki dan mencari fakta lapangan. Saya sudah crosscheck ke Rupat, itukan administrative dependent crime," kata Dr.Elviriadi, Sabtu (18/9/21 pada kabarriau.com.

Dosen UIN Suska itu menyebut, "dalam UU No.32 tahun 2009 itu tidak mancantumkan jenis sanksi atau hukuman pada tanah pribadi dalam jumlah kecil.

"Administrative dependent crime itu artinya pelaksanaan pidana hanya dilakukan setelah sanksi administrasi diabaikan. Itu biasanya terkait perusahaan. Lalu bagaimana sanksi individu atau petani lokal tentunya ada perbedaan," beber Ketua Majelis LH Muhammadiyah itu menjelaskan sifat hukum lingkungan yang mengacu pada hukum administrasi.

Ulas Ketua Majelis LH Muhammadiyah tersebut, "dalam kasus Mbah Misni (Rupat Utara) itu kan tanah pribadi, tidak diwajibkan AMDAL dan atau UKL- UPL".

"Jadi kalau ada potensi Karhutla, perlu terobosan hukum. UU No.32 tahun 2009 itu memerintahkan keaktifan Pemda, dimana pemerintah daerah harus memperkuat regulasi mencegah kerusakan lingkungan, sosialisasi  dan solusi bertani tanpa bakar, "ungkap Akademisi yang kerap menjadi saksi ahli di pengadilan tersebut.

Selain itu, dalam kasus Misri menurut Dr. Elv, "pengukuran baku mutu dilahan pribadi juga berbenturan dengan Pasal 551 KUHP".

"Kan belum ada pelanggaran hak berupa orang luka atau meninggal. Penyidik dan ahli harus minta ijin ke pemilik lahan,' kata Pakar dengan segudang gelar itu. 

"Beda hal dengan lahan korporasi seperti HGU dan HTI  karena alas hak milik negara dibawah Kementerian LHK. Wajar banyak yang menilai upaya pemerintah menangani Karhutla kurang komprehensif," imbuh Dr. Erlv.

Katanya, Karhutla ini hanya ujung (akumulasi) dari sebuah pembiaran perusakan hutan dan lahan gambut sejak lama. "Saya kira yang harus diprioritas kan itu penegakan hukum terhadap perusakan hutan (deforestasi) yang mangkrak, penertiban lahan HGU sawit yang mengeringkan gambut, pembukaan lahan gambut (land clearing) dengan cara membakar oleh korporasi besar dan seabrek sebab sebab fundamental dibalik Karhutla.

Oleh karena itu, penegak hukum dan Pemda harus memahami substansi  UU Lingkungan Hidup. Karena ulasnya jika keliru dalam penegakan hukum maka pelaku perusakan hutan dan lahan akan bebas mengeksplotasi lingkungan.

"Sedangkan petani dan masyarakat kecil dilahan pribadi kelompok rentan. Dihitung pula oleh ahli ganti rugi milyaran ditanah sendiri, apa tak kepunan masyarakat Riau ni. Kepunan telouw temakollah," pungkas putra Meranti tersebut.**