Wahyudi EL Panggabean "Polemik Pergub Riau No 19 Th 2021 dan Pers Serta Dinamikanya"

Wahyudi EL Panggabean "Polemik Pergub Riau No 19 Th 2021 dan Pers Serta Dinamikanya"

Pekanbaru - Munculnya peraturan Gubernur Riau nomor 19 tahun 2021 tentang Penyebarluasan Informasi Penyelenggaraan Pemerintahan Dilingkungan Pemerintah Provinsi Riau menimbulkan hiruk-pikuk dikalangan insan pers Riau.

Sebagai pengemban amanat pilar ke empat demokrasi disamping Eksekitf, Legistatif dan Yudikatif, pers berperan untuk menjaga keseimbangan antara pilar pilar penyelenggara negara, serta menjadi sarana bagi masyarakat untuk mengawasi jalannya pemerintahan yang telah mereka mandatkan pada penyelenggara negara, maka kemerdekaan pers menjadi salah satu wujud kedaulatan rakyat, dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat berbangsa, dan bernegara yang demokratis.

Secara umum didalam pasal 15 tersebut, menyebutkan sistem penyebar luasan informasi. Dikatakan, sistem penyebar luasan informasi dilakukan dengan cara langsung, website atau portal dinas, dan/atau media massa.

Namun yang menjadi permasalahannya ialah yang terdapat didalam pasal 15 ayat 3 hurf b mengatakan, terdaftar di dewan pers dan minimal terverifikasi administrasi. Begitu juga didalam pasal 3 huruf c, penanggung jawab media masa dan atau penanggung jawab redaksi telah memiliki uji kompetensi wartawan utama. Dan juga pada ayat 3 huruf h, memiliki wartawan yang sudah mengikuti uji kompetensi wartawan (UKW) dan memiliki sertifikat uji kompetansi wartawan (minimal wartawan muda).

Pada poin itulah yang menjadi perdebatan dikalangan pers di riau. Jika dilihat sepintas, memang terkesan bahwa penggunaan pasal ini dimaksudkan agar perusahaan pers maupun para wartawannya melakukan upgrading (memperbaiki kearah yang lebih baik).

Namun perlu di perhatikan juga. Jika kita telusuri lebih dalam, ada ke alpaan pembuat regulasi dalam mencantumkan ayat 3 huruf b,c,h itu.

Mengapa demikian? Didalam pasal 15 ayat 3 huruf b,c,dan h tersebut sudah masuk ke ranah pers. Sedangkan didalam pertimbangannya, peraturan gubernur nomor 19 itu tidak mencantumkan undang-undang pers nomor 40. Seharusnya jika menyangkut perusahaan pers ataupun wartawan tentu berlandaskan undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers.

Dari sisi sosiologis, terbitnya pergub ini dikhawatirkan memunculkan perpecahan dikalangan insan pers itu sendiri. Akibat dari pergub ini akan adanya peng kastaan bagi kalangan pers, akan menimbulkan pen-stigmaan (ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya - KKBI) perusahaan yang tidak terdaftar di dewan pers akan dikatakan perusahaan “gelap” (tidak resmi) dan tidak kredibel dalam menjalankan usahanya yang pada akhirnya tidak layak melakukan kerjasama dengan pemerintahan.

 

Apabila pen-sitgmaan ini terus berlanjut akan menimbulkan dampak ekonomi bagi pemilik perusahaan pers maupun bagi wartawan yang bernaung di perusahaan pers terebut.

Perusahaan pers terebut akan sulit untuk bertahan menjalankan usahanya. Didalam undang-undang pers dikatakan bahwa perusahaan pers selain berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Artinya perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi agar kualitas pers dan kesejahteraan wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.

Karena secara garis besar sumber pendapatan perusahaan pers berasal dari dua item, yakni dari kontrak kerjasama dan dari pendapatan iklan.

Pemerintah melalui Pergub nomor 19 itu secara tidak langsung telah melabeli perusahaan yang tidak terverifikasi ataupun terdaftar administrasi di dewan pers tidak layak melakukan kerjasama, bukan tidak mungkin akan merembet kepada calon pengiklan lainnya, baik dari pihak swasta ataupun dari pihak pemerintahan itu sendiri, akan enggan beriklan di perusahaan tersebut.

Akibatnya perusahaan pers itu akan sulit untuk bertahan. Akan menimbulkan dua pilihan yang sulit, yang pertama perusahaan pers akan mengurangi jumlah karyawannya, termasuk para wartawannya (tentunya yang tidak memiliki UKW), atau perusahaan pers itu akan mati dengan sendirinya.

Kalau kita merujuk kepada undang undang nomor 40 tahun 1999 tentang pers. Didalam pasal I tentang ketentuan umum, pada point 1. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi masa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, menggunakan media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia.

Pada point nomor 2 dikatakan. Perusahaan pers adalah badan hukum indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelanggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi.

Artinya kalau menyangkut perusahaan pers, tentu mengacu kepada undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebuah badan hukum perseroan terbatas harus mendapat pengesahan dari mentri hukum dan ham, memiliki surat domisili, NPWP, SIUP, TDP/NIB dan izin-izin lainnya dari departemen teknis terkait.

 

Dengan kata lain, jika perusahaan pers telah memenuhi persyaratan yang diminta didalam undang undang nomor 40 tahun 2007 tersebut, secara otomatis, perusahaan tersebut telah legal melaksanakan kegiatan usahanya. Sangat tidak elok membanding suatu badan usaha pers yang tidak terdaftar ataupun terverifikasi dewan pers sebagai perusahaan yang tidak resmi, karena negara telah mengakui pendirian perusahaan itu melalui pengesahan dari mentri hukum dan ham. Tentunya ber landaskan rasa keadilan, seharusnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan perusahaan yang telah terdaftar maupun terverifikasi dewan pers.

“wartawan yang baik harus dibuktikan dengan prosesi karya jurnalistik yang dia tulis”.

Begitu juga bagi pribadi wartawannya. Wartawan yang tidak melakukan UKW, akan ter stigma menjadi wartawan yang abal-abal. akan dianggap wartawan “kelas rendahan” yang tidak memiliki kompetansi dalam melaksanakan profesinya sebagai jurnalis.

Dalam undang-undang nomor  40 tahun 1999 tentang pers, didalam pasal 1 point 4 dikatakan, wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Seorang wartawan senior dari bumi melayu, Wahyudi EL Panggabean, ikut berkomentar, Wahyudi yang hasil pemikirannya telah banyak melahirkan wartawan-wartawan yang memiliki dedikasi tinggi dalam melaksanakan tugas jurnalistik mengkritik Suamsuar dalam Perdanya mencekal kerjasama wartawan yang dinilainya pilih kasih.

Didalam bukunya yang berjudul Wartawan Berani Beretika mengatakan “wartawan bermoral adalah wartawan yang paham kode etik jurnalistik. Wartawan bermoral adalah wartawan yang “bersih” sehingga memiliki keberanian memerankan profesinya dalam menegakkan nilai nilai kebenaran. Menuliskan berita berdasarkan tata etika. Tanpa prasangka, tanpa rasa takut, dan tanpa terikat kepentingan”.

Jika kita mencoba memaknai pemikiran itu, tersirat bahwa seorang wartawan haruslah memiliki dedikasi yang tinggi didalam menjalankan profesinya dan memiliki attitude (Perilaku) tunduk kepada kode etik jurnalistik. Seorang wartawan harus tetap berproses dengan waktu yang cukup panjang yang dilakukan secara terus menerus untuk membuktikan bahwa seorang wartawan terebut memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk dapat dikatakan sebagai seorang wartawan yang profesional.

Secara singkat, Beliau mengatakan “wartawan yang baik harus dibuktikan dengan prosesi karya jurnalistik yang dia tulis”.

Jadi jelas bahwa profesi wartawan tidak dapat diukur dengan “selembar kertas” ataupun jumlah nominal berapapun, karena ini menyangkut integritas seseorang dalam menjalankan profesinya sebagai seorang jurnalis.

 

Untuk itu jangan ada lagi perpecahan di kalangan insan pers, insan pers semestinya harus bersatu karena memiliki nafas yang sama. Sebagai kontrol sosial.

Dilain hal, bisa saja berbeda pemikiran, tetapi menyangkut kebebasan pers, haruslah bersatu. Pers tidak boleh di dikte oleh kekuasaan.

Orientasi pers haruslah mengarah kepada kepentingan umum, kepentingan rakyat, serta memperjuangkan hak asasi manusia dan penegakan hukum, bukan hanya sekedar press rilis pemerintah.

Perjuangan penolakan terhadap peraturan gubernur nomor 19 tahun 2021 yang ditandatangi oleh gubernur syamsuar dan PJ Sekretaris daerah Masrul Kasmy bukan sekedar dapat atau tidaknya kerjasama di pemerintahan. Terlalu dangkal dan naif jika berfikir seperti itu.

Perjuangan ini menyangkut kepentingan yang lebih luas, tentang kebebasan pers. Pers harus menjaga independensinya. Baik telah melakukan kerjasama dengan pemerintah, ataupun tidak melakukan kerjasama dengan pemerintah.

Pers tidak boleh “mandul” dalam menjalankan perannya sebagai control penyelenggara pemerintahaan, namun juga memberikan apresiasi terhadap kebijakan pemerintah yang pro rakyat.

Di internal sendiri sesama insan pers tidak boleh adanya peng-eksklusifan, karena kita di ikat dalam satu ikatan yang sama melalui undang undang pers dan kode etik jurnalistik.

Untuk itu mari kawan-kawan kita bersatu mengingatkan pemerintah yang alpa dalam memahami pers dan kebebasan pers.**