Masyarakat Adat Tano Batak Minta KLHK Cabut Izin PT TPL

Masyarakat Adat Tano Batak Minta KLHK Cabut Izin  PT TPL

Masyarakat TOBASA Bersama Menteri LHK RI

SUMUT - Tujuh perwakilan Komunitas Masyarakat Adat Tano Batak didampingi Direktur KSPPM Delima Silalahi dan aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) Tano Batak berharap izin konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL) di Kabupaten Toba, Sumatra Utara dicabut.

Permohonan dan desakan cabut izin diutarakan kepada Pemerintah melalui kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) RI.

Alasan Masyarakat, PT TPL sejak puluhan tahun silam kerap menciptakan konflik horizontal kepada warga tempatan bahkan proyek tersebut dianggap mencederai proyek strategis Nasional Pariwisata hingga Program Food Estate di Provinsi sumatera utara (Sumut).

Desakan cabut izin perusahaan disampaikan langsung Masyarakat kepada Menteri KLHK RI Siti Nurbaya Bakar di Hotel KHAS Parapat, Minggu (13/6) dihadiri jajaran eselon I dan beberapa Direktur di instansi KLHK. 

Ibu Siti Nurbaya membuka diskusi dengan menjelaskan bahwa sejak tahun 2016 KLHK sudah mempelajari berbagai konflik agraria yang terjadi di Danau Toba.

Pada kesempatan tersebut Menteri LHK RI tidak menepis proses penyelesaian konflik yang dialami masyarakat adat tidak semudah dibatan sehingga perlu melibatkan banyak pihak.

"Kami semua di sini akan mendengarkan apa yang dialami dan diharapkan oleh masyarakat adat, sehingga segera bisa dilakukan berbabai upaya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi”, jawab Siti merespon keluhan Masyarakat.

Direktur KSPPM, Delima Silalahi mengapresiasi responsif KLHK kepemimpinan Siti. "Terimakasih kepada Ibu Siti Nurbaya beserta seluruh jajaran yang telah memberikan ruang bagi masyarakat adat dan masyarakat sipil menyampaikan secara langsung persoalan yang dihadapi sejak 30 tahun terakhir Di Tano Batak terkait," aplaus Delima. 

Keluhan Masyarakat kata Delima, konflik agraria diatas lahan izin PT TPL karena dampaknya terhadap masyarakat adat hingga kerusakan lingkungan.   

Hadir dalam pertemuan itu sebanyak 23 perwakilan komunitas masyarakat adat yang sedang menghadapi konflik agraria yang disebabkan adanya klaim Kawasan Hutan Negara di wilayah adat. 

"Ada yang berkonflik dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL), ada yang bersinggungan dengan Proyek strategis Nasional Pariwisata dan juga Program Food Estate," terang Delima Silalahi.

Dielaskan, sejak tahun 2016 Menteri Siti Nurbaya dan jajaran di KLHK selalu merespon keluhan Masyarakat adat di Toba bahkan memberi harapan agar wilayah Adat Toba terbebas dan dikembalikan kepada masyarakat adat. 

Sayangnya harapan itu memudar bahkan konflik tak kunjung selesai malah terus bertambah seiring perusahaan tiada henti melakukan operasional yang menimbulkan banyak konflik dengan mengintimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.

“Kami sangat berharap ada hasil dari pertemuan ini, ada upaya serius penyelesaian konflik masyarakat adat dan pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat," pinta Delima. 

Mewakili Masyarakat, Delima Silalahi kembali mengapresiasi KLHK atas SK Hutan Adat Pandumaan-Sipituhuta pada akhir tahun 2020 lalu.

"Walaupun SK tersebut sampai saat ini masih menyisakan berbagai polemic dan bisa diselesaikan dengan baik, kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bu Siti Nurbaya dan semua tim di KLHK," tutur Delima.

Senada dengan Delima, Roganda Simanjuntak mengapresiasi kesediaan KLHK gelar diskusi bersama masyarakat Ketua BPH AMAN Toba.

Namun demikian mereka tetap berharap pertemuan kali itu 'berbuah' formula baru menyelesaikan konflik di Tano Batak. "Paling tidak kami meminta kepada Ibu Menteri untuk segera mencabut izin konsesi PT TPL. Kehadiran PT TPL menimbulkan banyak konflik dan kekerasan di Tano Batak”, kata Roganda.

Roganda mencontohkan kasus kriminalisasi yang dialami Masyarakat Adat Natumingka pada Bulan Mei kemarin dari PT TPL melakukan kekerasan di wilayah adat menyebabkan 12 orang anggota komunitas yang terluka.

"Makan leluhur kami diobrak abrik dan tanaman kami di rusak dan Perusahaan sudah banyak menimbulkan penderitaan, maka kami minta perusahaan itu ditutup," desaknya. 

Mewakili Masyarakat Pandumaan-Sipituhuta Arnold Lumbanbatu mengklain sejak tahun 2016 perwakilan masyarakat telah bertemu Presiden Joko Widodo dan Menteri LHK Siti Nurbaya di istana negara.

Dalam pertemuan tersebut Presiden Jokowi memberikan SK Pencadangan Hutan adat dengan mengeluarkannya sebagian lahan konsesi yang dikuasai PT TPL seluas 5.172 hektar.

Kala itu Presiden Jokowi berpesan untuk tidak merubah fungsi Hutan Kemenyan dan dilakukan Masyarakat.

Namun sayang hingga tahun 2020 SK Hutan Adat Pandumaan - Sipituhuta untuk di inclave seluas 2.393 hektar tak kunjung terealisasi.

Eva Junita Lumban Gaol, mewakili masyarakat adat Pargamanan - Bintang Maria juga menyampaikan keberadaan PT TPL telah menimbulkan konflik horizontal. 

“PT TPL membuat rusak hubungan keluarga, abang-adik tidak saling sapa akibat pecah belah yang dilakukan PT TPL. Bukan hanya itu, keberadaan konsesi di hutan kemenyan kami juga berdampak pada menurunnya sumber ekonomi masyarakat karena telah banyak pohon kemenyan kami ditebang oleh perusahaan, tanaman-tanaman kami banyak dirusak oleh binatang yang kehilangan tempat di hutan yang dirusak," sesal Eva.

Jaspayer Simanjuntak perwakilan masyarakat adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak memaparkan, kehadiran PT TPL di wilayah adat mereka telah menyebabkan banyak dampak buruk sehingga perlu penanganan serius. 

Ssbab keberadaan konsesi Perusahaan di Hutan adat telah mencemari sumber air masyarakat masyarakat Sipahutar tapi masyarakat Siborong borong. 

Mirisnya, PT TPL juga sengaja menciptakan konflik sesama masyarakat dengan membentuk Kelompok Tani Hutan di luar masyarakat adat Ompu Bolus dan Ompu Ronggur Simanjuntak.

Bahkan Mangitua Ambarita mengisahkan banyaknya kriminalisasi telah berdampak buruk pada Adat Sihaporas. 

Melihat banyaknya persoalan yang ditimbulkan PT TPL di Tano Batak, Tumpak Manalu mewakili masyarakat adat Tor Nauli juga meminta KLHK segera mencabut ijin PT TPL dari Tano Batak karena budidaya tanaman kehidupan, Kemeyan, turut dirusak.

Selanjutnya Rasmi Boru Sinaga perwakilan Masyarakat Adat Sigapiton menyesalkan sebagian besar wilayah adat mereka diklaim masuk kawasan hutan negara sehingga pemerintah dalam hal ini BODT dengan sesuak hatinya mendirikan bangunan di desa mereka tanpa pernah melibatkan masyarakat adat. 

"Tanah kami hanya 80 hektar yang bukan hutan, sementara kami ada 114 KK," katanya. (Tim)