KPAI Membongkar Ideologi Misoginis di Balik Aisha Wedding

KPAI Membongkar Ideologi Misoginis di Balik Aisha Wedding

Jakarta - Kalau di website kan ada gambar anak memelas yang ditampilkan, ini merupakan eksploitasi anak-anak, demikian ujar Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Rita Pranawati dalam zoom meeting terkait diskusi 'Memahami Logika Hukum dan Membongkar Ideologi Misoginis di Balik Aisha Wedding, Sabtu (13/2/21).

Terlihat dari foto anak perempuan yang ditampilkan pada flyer atau selebaran yang tersebar di media sosial kata Rita, kasus wedding organizer Aisha Weddings sebagai bentuk eksploitasi anak.

Bahwa itu ulas Rita, melanggar UU ini juga sangat melanggar norma di agama dan ini betul-betul mencerminkan kemunduran peradaban. Jadi karena itu ini perlu dikawal dengan baik, “karena anak-anak ini perlu dikawal dan dilindungi dengan baik”. 

Rita mengatakan, dalam flyer tersebut Aisha Weddings seolah menonjolkan sosok anak yang terlantar sehingga hanya memiliki solusi menikah. Padahal, menurutnya, seorang anak memiliki harkat dan martabat.

"Gambarnya seperti anak terlantar yang solusinya adalah menikah. Juga tampilan di Facebook yang menunjukkan anak itu seperti benda yang bisa diperlakukan seperti apa saja," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) & Founder Mubadalah.id Kyai Faqihudidin Abdul Kodir juga turut menanggapi kasus dari Aisha Weddings ini.

Ia menganggap seharusnya itu tidak boleh menggunakan narasi Islam untuk melindungi perempuan. "Ngga bisa pakai narasi melindungi perempuan, mereka hanya mau seks halal. Kalau ditelusuri semua aspeknya dalam arti tidak melindungi," tegas Faqihuddin.

Faqihuddin juga menganggap ini merupakan salah satu dari kemunduran peradaban islam. Ia pun sangat menyayangkan sosok perempuan hanya dijadikan sebagai objek semata.

    Baca Juga :

"Kalau sekedar dapat makan ya artinya mana jiwanya, mana pendidikannya. Perempuan punya inteligitas sangat besar bukan hanya sekedar seks ranjang saja," jelasnya.

"Kami atas nama KUPI berharap agar pemerintah bisa serius menangani kasus ini," lanjutnya.**