Sejarah Bengkalis Ditulis Oleh Syamsudin bin Ismail

Sejarah Bengkalis Ditulis Oleh Syamsudin bin Ismail

Bengkalis - Syamsudin bin Ismail dalam sebuah tuilisannya di sebuah web menceritakan sejarah Bengkalis dari awal hingga akhir, dalam sejarah ini kami ikut menceritakan namun kalau ada kesalahan kami harap pembaca menghubungi narasumber.

Dikisahkan pada tahun 1645 M, datanglah satu keluarga kecil yang terdiri dari suami istri. Karena mereka datang dari sebuah kerajaan yang besar dan mempunyai tamaddun yang tinggi, juga mempunyai pemerintah yang teratur, maka dari itu kedua suami istri itu melaporkan dirinya kepada Batin-batin yang berempat yaitu Batin Bengkalis, Batin Senderak, Batin Penebal dan Batin Alam untuk tinggal di Bengkalis selama-lamanya dan langsung menjadi penduduk Bengkalis.

Setelah beberapa lamanya tinggal di Bengkalis, mereka belum mendapat cahaya mata, sehingga mereka mengambil seorang anak perempuan sebagai anak angkatnya. Karena sayang yang amat sangat, maka anak perempuan tersebut dinamakan Intan. Menurut orang kita melayu, Intan ialah suatu permata yang sangat tinggi nilai dan harganya, menjadi idaman bagi yang belum memiliki dan menjadi pujaan bagi yang telah menpunyainya.

Kedua suami istri dan anak angkatnya ini sangat pandai bergaul dan menarik hati penduduk, sehingga Batin-batinpun sangat merasa simpati kepada mereka. Oleh karena pandatang itu mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak, maka dia selalu di bawa bermusyawarah apabila ada suatu masalah yang muskil, sudah tuah seseorang, bintang sedang terang, ayah encik Intan tersebut diajak bekerja sama dengan Batin-batin sebagai wakil dari mereka berempat.

Seperti yang tersebut diatas disekitar tahun 1645 M, dipelabuhan Bengkalis sangat banyak berlabuh Kapal-kapal Niaga kepunyaan Bangsa Asing. Meningat hal tersebut ayah dari encik Intan mengajukan usulan kepada Batin-batin yang berempat itu, dan membayangkan susunan pemerintahan yang telah dialaminya diwaktu ia berada di Malaka dahulu.

Menurut pandangan beliau, bahwa Bengkalis adalah suatu pulau yang dibatasi oleh lautan disekelilingnya, dan mempunyai pelabuhan yang tertentu, dari itu alangkah baiknya kita mengadakan seorang Datuk yang megurus pelabuahan, seperti di Malaka sendiri, yang dinamakan Datuk Syahbandar.

Mendengar keterangan itu Batin-batin yang berempat ini sangat bersetuju sekali untuk diadakan Datuk Syahbandar tersebut. Untuk itu di barilah jalan yang sebaik-baiknya siapa yang patut menjadi Datuk Syahbandar tersebut.Sudah dikatakan diatas tersebut nasib seseorang yang akan mucul sebagai orang yang terkenal, maka undian tersebut jatuh pada ayah dari pada Encik Intan.

Hal inipun masih diragukan lagi tetapi setelah mengadakan beberapa ujian, barulah dapat diterima oleh Batin-batin tersebut. Setelah selesai semuanya, maka Batin-batin itu menyatakan dengan kerelaan hatinya, mengangkat Beliau sebagai Datuk Syahbandar serta oleh panglima, juga masyarakat Pulau Bengkalis umumnya. Dengan adanya pengangkatan ini, maka resmilah ayah Encik Intan menjadi Datuk Syahbandar yang pertama.

    Baca Juga :

Selang berberapa lamanya, hamil lah Istri Datuk Syahbandar Bengkalis dan akhirnya lahirlah seorang anak perempuan. Karena sangat kasihnya, maklumlah anak pertama dari darah dagingnya sendiri dan dinamakanya Encik Mas.

 

Pada tahun 1675 M, meninggallah Datuk Syahbandar itu, dan sebagai pewarisnya diangkatlah Encik Mas sebagai Datuk Syahbandar Bengkalis yang kedua.

Selama beliau memegang jabatan Datuk Syahbandar itu, tata pemeritahan serta adat kebudayaan disusunya dengan baik, menurut adat istiadat berdasarkan tata cara Kerajaan Melayu Melaka, yang dipelajarinya dari ayahndanya.

Dalam melaksanakan pemerintahaan, beliau ini didampingi oleh pembesar-pembesar dan panglima-panglimanya. Untuk menjalankan pemerintahan harian, diangkatnya anak dari Batin-batin yang berempat ini, dengan ketentuan harus menurut perintahnya. Dengan cara pemerintah dan adat istiadat yang baik oleh karena itulah, maka Pulau Bengakalis terkenal dimana-mana, banyak kapal-kapal dagang bangsa asing siggah di pelabuhannya.

Disini perlu kita ketahui, bahawa anak Datuk Syahbandar Bengkalis ini tidak mengizinkan untuk mendirikan Angkatan Besenjata dan Kenderaan laut, karena beliau berpendapat dengan adanya ini, akan timbul niat jahat untuk menyerang dan menaklukan negeri orang lain. Hanya Belau mengadakan badan keamanan di dalam bandar saja.

Disekitar tahun 1680 M, pulau Bengkalis didatangi sebuah perahu layar, kalau ditinjau dari peralatannya dapatlah dikatakan sebuah kapal perang dari Sulawesi Selatan yaitu Wajok. 

Kapal tersebut ternyata kapal putra Sultan Wajok yang diketahui oleh putra Sultan Wajok sendiri, sebanyak empat orang yang bernama :

1.    DAENG TUAGIK.

2.    DAENG PUARIK.

3.    DAENG RONGGIK.

4.    DAENG PENGGERIK.

 

Mereka datang menemui Datuk Syahbandar Bengkali, yaitu Encik Mas dan menyampaikan maksud mereka yaitu : Mereka datang dari Sulawesi (Wajok), adalah untuk mencari pengalaman dan pengetahuan diseluruh Nusantara, serta mencari persahabatan. Mendengar perkataan mereka ini, dan melihat tingkah laku dan sopan santun yang baik, maka disambutlah oleh Datuk Bandar dengan senang hati.

Mereka kini, diizinkan tinggal di Bengkalis seberapa lama mereka mau. Beberapa purnama kemudian, mereka bermohon diri untuk melanjutkan perjalanannya. Akan tetapi, salah seorang dari mereka ini tidak ikut yaitu Daeng Tuagik Saudara tua dari mereka dengan alasanya bahwa beliau belum puas tinggal di Bengkalis. Hal ini disetujui oleh kedua belah pihak, baik dari adik-adik Daeng maupun dari pihak Datuk Bandar Bengkalis untuk dijadikan Istrinya. Maksud baiknya ini, disampaikan kepada Encik Mas, lamaran tersebut diterima dengan syarat-syarat sebagai berikut.

1.    Keturunannya (Daeng Tuagik dengan Encik Mas) tidak boleh memakai gelaran dari Sulawesi, sampailah kepada anak - cucunya nanti.

2.    Daeng Tuagik sendiri tidak boleh mengadakan Angakatan Bersenjata Laut, sebagaimana terdapat dalam dasar - pemerintahan Bengkalis.

Setelah syarat-syarat tadi disampaikan oleh orang-orang Bengkalis kepada Daeng Tuagik dan dipikirnya matang-matang, maka diterimanyalah syarat-syarat tersebut.

Tidak beberapa lama kemudian diadakan peminangan serta diadakan pernikahan yang meriah sekali, maklumlah yang mengadakan keramaian itu ialah Datuk Bandar Bengkalis dan Daeng Tuagik anak dari Raja Sulawesi Selatan.

Genaplah kini perkawinan Datuk Bandar Bengkalis dengan Daeng Tuagik satu tahun, maka diadakanlah pesta besar-besaran yang belum pernah diadakan sebelumnya. Bertepatan pula atas mufakat bersama, diangkatlah/ditabalkan Daeng Tuagik sebagai Panglima digelar Panglima Tuagik. Dan diangkat menjadi ketua dari panglima-panglima yang ada di Bengklis ini dibawah perintah Datuk Bandar Bengkalis.

Begitulah Bengkalis pada waktu itu aman tenteram, sampai bertahun-tahun lamanya. Tetapi dilain pihak yaitu Daeng Tuagik selalu dalam kegelisahaan, apabila di dengarnya berita-berita dari orang bawahannya bahawa di daerah lain di pulau-pulau yang berdekatan dengan pulau bengkalis, selalu saja didatangi malahan dibunuh oleh prompak-prompak hal ini yang menyebabkan Panglima Tuagik bermuram durja, hidupnya selalu dalam kegelisahaan.

Apabila ia memandang ketengah lautan, disana tampaklah olehnya kapal-kapal Belanda hili mudik entah dari mana tidak diketahui dengan pasti, maklumlah dilihat dari daratan yang jauh. Betapa tidak darah Bugis yang mengalir dalam tubuhnya itu, tidak mengizinkan ia berdiam diri saja. Seperti yang kita ketahui didalam sejarah, bahwa Bangsa Bugis menjadi Bangsa pelaut yang mengarungai lautan. Demikian pula halnya dengan panglima Tuagik seorang Putra Raja Wajok sendiri. Putra Wajok ini mempunyai darah campuran antara Bone dan Luwu Kalau Sultan Bone “ MANGKAUE “ yang bertahta atau yang memerintah, sedangkan Raja Luwu pula dipanggil/digelar “ MADAYUNGE “ artinya berpayung.

Baginda Luwu biasanya disebut Datu Luwu, dan kalau Raja Bone terkenal gagah beraninya, maka Datu Luwu terkenal juga dengan hal ini. Baginda terkenal juga sebagai seorang Sultan yang baik budi bahasanya lagi arif dan bijaksana. Baginda Datu Luwu memerintah sangat adilnya, seta penuh kasih sayang seluruh rakyatnya. Demikianlah panglima Tuagik adalah keturunan dari dua suku Bangsa Bugis yang terkenal gagah berani dan perkasanya yaitu mengarungai lautan dan menghapuskan segala peropak atau menemui kapal-kapal Belanda yang diidam-idamkanya.

Untuk memperkuat maksudnya ini Daeng Tuagik mengambil keputusan untuk memindahkan Ibu Negeri Bengkalis. Hal ini disampaikanya kepada Istrinya Datuk Bandar Bengkalis dengan alasan Ibu Negeri yang sekarang ini tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang ini dan harus kita pindahkan dari Muntai ini ke sungai Bengkalis, yaitu mengahadap ke selat Bengkalis. Hal ini disetujui oleh Datuk Bandar Bengkalis beserta orang-orang besar Bengkalis. Kemudian di tahun berikutnya pindahlah Ibu Negeri Bengkalis ke Sungai Bengkalis yang dimaksud. 

 

Adapun Encik Mas sejak dari mula perkawinannya 1680 M sampai pindahnya ke sungai Bengkalis tetap sebagaimana biasa yaitu masih belum mempunyai cahaya mata. Baru sekitar tahun 1690 M ia mendapat seorang anak laki-laki. Kemudian sebagaimana perjanjian dengan panglima Taugik. Apabila mendapat turunan tidak boleh digelar dengan gelaran Bugis dan juga namanya tidak boleh mengikut nama Bugis. Oleh sebaba itu anak laki-laki yang baru saja dilahirkan dinamakannya Jamal. 

Setelah anak ini dewasa, dinamakanlah dengan nama “ Encik Jamal“ dan apa bila Encik Jamal berumur tiga puluh tahun, maka digelarlah dengan gelaran ibundanya yaitu Datuk Bandar Jamal. Setelah tampuk pemerintahan Bengkalis dipegang oleh Datuk Bandar Jamal, maka Encik Mas pun kembalilah sebagaimana orang biasa. Disinilah panglima Tuagik mengambil kesempatan untuk mendesak kepada putranya Datuk Bandar Jamal agar dengan segera mengadakan sebuah Angkatan Laut yang cukup dengan persenjataannya. Hal ini selalu juga dinasehatkan oleh ibunya, jangan diturut sebagaimana kehendak panglima Tuagik. Kalau hal ini dilakukan berarti kita memang mencari lawan.

Akhirnya sekitar tahun 1720 M terpikir pula oleh Datuk Bandar Jamal, kalau kehendak ayahndanya ini tidak diturut ditakutinya ayahndanya akan pergi meninggalkan Bengkalis. Maka dibikinyalah satu perahu yang amat besar, perahu tersebut banyak menyerupai perahu-perahu daerah Sualwesi. Setelah perahu besar siap segala-galanya, maka perhu itu diberi warna kuning bertumpuk-tumpuk pada bahagian badanya dengan memakai layar Bugisnya.

Layar dan Jibnya berwarna putih. Ada pun perahu yang besar itu dinamankanya Lancang Kuning. Adapun bendera diujung tiang berwarna hijau lumut. Hijau lumut adalah lambang kemakmuran. Pada tahun 1720 M itu juga dikawinkalah Datuk Bandar Jamal dengan anak Batin senderak yang bernama Encik Mahiran.

DATUK PANGLIMA TUAGIK IKUT MENYERANG JOHOR

Adapun kerajaan Johor sekitar tahun 1691 M, yang menjadi sultan ialah Sultan Mahmud Syah II. Sultan ini memerintah selama 8 tahun. Ia mangkat pada tahun 1699 M. Sultan Mahmud Syah II mati ditikam oleh Laksamananya sendiri yang bernama Megat Sri Rama. Dalam catatan tulisan tangan kerajaan Johor dan juga dalam catatan tulisan tangan kerajaan Siak Sri Indra Pura. Dituturkan seulas Nangka, yang menyebabkan peristiwa tersebut.

Dinyatakan juga setelah Sultan Mahmud Syah II ditikam oleh Laksmana Megat Sri Rama waktu ia sedang berjulang. Setelah merasa dirinya kena tikam ia terus mencabut keris tersebut mengenai ibu jari kaki Megat Sri Rama. Disebabkan keris Sultan itu sangat berbisa maka Megat Sri Rama pun mati seketika itu juga. Adapun kematian Sultan disebut Almarhum Mangkat Dijulang. Setelah kedua-keduanya tewas, maka terjadilah kekacauan didalam Negeri Johor. Keluarga Megat Sri Rama menyerbu masuk kedalam Istana membinasakan keluarga Sultan Mahmud Syah II. 

Dalam kekacauan itulah salah seorang dari Istri Sultan yang bernama Encik Empong dapat diselamatkan dan dilarikan kedalam hutan oleh Nakhoda Malim yaitu salah seorang dari Hulubalang Sultan. Beberapa waktu Negeri Johor berada dalam keadaan hura hara, dan akhirnya dilantikalah Putra dri Bendahara Paduka Raja sebagai pengganti Sultan dengan gelaran Sultan Abdul Jalil IV. Pelantikan itu dilakukan karena di Johor tidak ada lagi keturunan Sultan Mahmud Syah II.

Adapun Encik Epong yaitu Istri dari Sultan Mahmud Syah II sedang hamil tua. Didalam pelariannya itulah ia melahirkan seorang Putra yang dinamakanya Raja Kecil. Untuk menghindari dari kejaran pengikut-pengikut Megat Sri Rama, bayi dan ibunya ke Jambi dan terus ke Indragiri. Kemudian setelah beberapa lama di Indragiri dibawa kepagaruyung. Diwaktu itu yang memerintah di pagaruyung ialah Yang Dipertuan Sakti dengan ibundanya Putri Janilan.

Selama yang Dipertuan Raja Kecil di Pagaruyung dididik oleh Raja sebagaimana anaknya sendiri dan diajarkan segala ilmu baik dalam ilmu pemerintahan, baik dalam ilmu kependekaran. Setelah selesai semua yang di pelajarinya itu, maka digelarlah ia oleh Raja Pagaruyung dengan gelar “ Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil “

 

Setelah ibundanya mangkat, maka sekitar tahun 1719 M, timbullah niat jahat Yang Dipertuan Cantik Raja Kecil untuk pergi ke Johor untuk menutut bela atas kemangkatan ayahndanya. Hal ini disampaikanya ke pada Raja Pagaruyung. Beliau mengizinkannya dan pada Raja Kecil diberikannya pengiring dari orang-orang besar Kerajaan Pagaruyung sebanyak 5 orang.

Perjalanan menuju Johor melewati Tapung Kiri Petapahan menghilir Sungai Jantan (Siak). Sesampainya dihilir yaitu di Pulau Sabak didapati disana ada sebuah perkampungan yang besar yang diketuai oleh petugas Bandar, sampan Raja Kecil diminta cukai Kepala sebagaimana yang dilakukan terhadap pedagang yang lalau lintas disana. Raja Kecil yang menyamar sebagai pedagang itu tidak berniat bermusuhan dalam perjalanannya itu. Akan tetapi Raja Kecil ingin mencoba kepada Petando (Opas) bahwa ia tidak mempunyai uang. Perkataan Raja Kecil mengerat tali epoknya (tempat sirih) yang terbuat dari emas urai, lalu diberikanya kepada petando tadi sambil berkata “ kami tidak mempunyai uang, nah ambilah ini. Nanti apabila kami pulang harus kami tebus dengan darah Datuk Bandar Sabak Aur “. Alangkah terkejutnya petando melihat tali epok yang terbuat dari emas serta mendengar perkataan dari Raja Kecil itu. Tetapi apa hendak dikata perbuatanya telah terlanjur.

Yang Dipertuan Raja Kecil meneruskan perjalanannya hingga kemudian tampaklah sebuah perkampungan yang sangat ramai penduduknya yang Dipertua Raja Kecil bertanya kepada pengikutnya. Lalu diterangkanlah oleh salah seorang dari mereka yang mengetahui nama kampung itu yaitu Bengkalis.

Yang Dipertuan Raja Kecil pun sampailah di Bengkalis, menyamar sebagai seorang saudagar. Setelah beberapa hari yang Dipertuan Raja Kecil di Bengkalis, barulah ianya diketahui oleh Datuk Bandar Jamal dan ayahndanya panglima Tuagik. Dan yang Dipertuan Raja Kecilpun membuka rahasianya, bahwa beliau sebenarnya adalah Putara Sultan Mahmud Syah II yang bergelar Sultan Mahmud Mangkat Dijulang.

Kemudian beliau mengisahkan perjalanan beliau sejak dilahikan sampai ke Pagaruyung dan pada saat sekarang ini ia akan menuju johor untu merebut kembali Tahta ayahndanya. Apabila mendenganr maksud dan tujuan Yang Dipertuan Raja Kecil itu orang-orang Bengkalis ingin bersama-sama membantu perjuangan Raja Kecil itu. 

Atas nama pemerintah Bengkalis, mengadakan sebuah Angkatan yang dikepalai oleh Datuk Panglima Tuagik, siap siaga menunggu perintah. Pada penghujung tahun 1720 M Angkatan Datuk Panglima Tuagik beserta Raja Kecil berlayarlah menuju Johor.

Siltan Johor pada waktu itu (Sultan Abdul Jalil IV) kurang memperhatikan pertahanan Negerinya. Baginda telah hayut dalam kemewahan Istana saja, sehingga Kerajaan Johor pada waktu itu sangat lemah. Lanun-lanun bermaharaja lela dilautan dan pengaruh bangsa asing kian menghebat disana. Dikalangan istana timbul perpecahan, ini disebabkan Sultan sendiri bukan turunan dari Sultan Johor sebelumnya.

Pada waktu Angaktan Perang Datuk Panglima Tuagik serta  Yang Dipertuan Raja Kecil sampai, di Johor sedangkan pesta Keramaian genapnya sultan memerintah selama 20 (dua puluh) tahun.

Dari itu tidaklah diherankan apabila Angkatan dari Panglima Tuagik dan Yang Dipertuan Raja Kecil dengan mudahnya menyerbu masuk kedalam Istana. Pengawal Istana baru sadar dan langsung melaplorkan kepada Sultan bahwa Angkatan Dipertuan Raja Kecil datang menyerang dan sekarang berada di dalam Istana.

Dan setelah sultan mengetahui hal tersebut beliau langsung melarikan diri melewati pintu belakang dan langsung masuk kedalam hutan di hulu Sungai Johor. Tetapi dengan tidak di sadarinya salah seorang dari panglima yang Dipertuan Raja Kecil yang bernama Gangsa Batuang mengikutinya dari belakang, atas perintah dari Yang Dipertuan Raja Kecil. Setelah berjalan haripun hampir petang, sampailah Sultan di sebuah Sungai. Karena waktu magrib sudah tiba, turunlah Sultan kedalam Sungai utnuk mengambil air wuduk, meniti pada batang yang menjulur kedalam sungai.

 

Sesampainya Sultan diujung batang Panglima Gangsa Batuang sampai pula disana, langsung Panglima tersebut menghunus kerisnya dan ditikamkannya kepada Sultan. Seletah itu ia pun pulang dan memberitahukan kepada Yang Dipertuan Raja Kecil atas peristiwa tersebut. Setelah Sultan Abdul Jalil IV mangkat beliau digelarkan Almarhum Mangkat Dibatang. Adapun Sultan ini mempunyai 3 (tiga) orang anak, satu laki-laki dan 2 (dua) permpuan Yaitu:    

        1. Raja Sulaiman Putra 

        2. Raja Kamariah Putri

        3. Raja Mah Bungsu Putri 

Putra dan Putri Sultan in tidak sempat melarikan diri, mereka tetap didalam Negeri Johor. Kemudian oleh Dipertuan Raja Kecil dijemput kembali kedalam Istana.

Setelah keadaan hampir reda/aman, Yang Dipertuan Raja Kecil dilantik menjadi sultan Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah (tahun 1720 M).

Beliau berniat untuk mengambil salah satu dari Putri Sultan Abdul Jalil IV utnuk dijadikan Permaisurinya. Adapun Putri yang dipilih, oleh Yang Dipertuan Raja Kecil yang pada waktu itu bergelar Sultan Jalil Rakhmad Syah ialah putri bungsu yang bernama Putri Mah Bungsu.

Hal ini menyebabkan Raja Kamariah berkecil hati, sedangkan ia adalah Putri yang tua dalam keturunannya, “Kenapa pula yang bungsu dahulu dikawinkan” Akan tetapi Sultan Rakhmad Syah sendiri tidak mengetahui/menyangka sama sekali bahwa Raja Kamariah menaruh dendam kepadanya. Di dalam sejarah dikisahkan sesudah perkawinan Sultan Aabdul Jalil Rakhmad Syah dengan Raja Mah Bungsu pertentangan makin meruncing. Raja Kamariah mendesak abangnya (Raja Sulaiman), Supaya Sultan bdul Jalil Rakhmad Syah dibunuh dan merampas kembali tahta kerajaan Johor.

Adapun Sultan Abdul jalil Rakhmad syah sudah mengetahui maksud jahat dari ipar-iparnya dengan perentaraan Istrinya. Tetapi Raja Kamariah tidak merasa puas dengan tindakan seperti ini, beliau mengirim utusan secara diam-diam ke Negeri Bugis, untuk meminta bantuan untuk kelencaran makusdnya ini. Raja Bugis setelah menerima utusan dan khabar berita dari Raja Kamariah itu, langsung menyetujuinya dan mengirimkan Putra-putra beliau. Salah seornag dari Putra beliau ini bernama Daeng Perani.

Terjadilah peperangan antara pengikut sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah dengan pengikut Raja Sulaiman dan Raja Kamariah yang dibantu oleh rombongan dari Negeri Bugis itu, yang dipimpin oleh Daeng Perani dan adik-adiknya. Dalam pertempuran itu Raja Sulaiman dan Raja Kamariah beserta pengikutnya mengalami kekalahan dan Daeng Perani tewas.

Melihat peristiwa ini dan dendam dari Raja Sulaiman ini yang tidak kunjung padam, ditambah pula dengan dari istri beliau (Raja  Mah Bungsu), maka Sultan Abdul Jalil mad Syah bersedia berunding dan menyerahkan Kerajaan Johor Kepada ipar – iparnya yaitu Raja Sulaiman dan Raja Kamariah, asal saja mereka ini dapat menghapuskan rasa dendam dan permusuhan ini. Tetapi Raja Kamariah tidak dapat meanerima hal itu begitu saja dan dendam terus membara didalam hatinya.

Melihat hal tersebut berterusan, maka Sultan Abdul Jalil  rakhmad Syah mengambil suatu kesimpulan “Kalaulah hal ini akan berterus-terusan saja, maka pada suatu saat nanti akan berkobar lagi peperangan yang sangat dahsyat, antara pengikutnya dengan Raja Sulaiman dan Raja Kamariah dan pengikutnya pula, sedangkan mereka ini adalah saudara-saudara dari istrinya”. Dalam peperangan inilah Sultan Abdul Jalil Rakhamd Syah meniggalkan Kerajaan Johor beserta isteri yang tercinta menuju Lingga, pada tahun 1722 M.

Kita tinggalkan sementara kisah perjalanan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah (yang dipertuan Raja kecil) beserta isterinya yang bernama Raja Mah Bungsu menuju Lingga.Kita kembali mengikuti perkembangan Panglima Tuagik. Adapun Panglima Tuagik, setelah penabalan Yang Dipertuan Raja Kecil menjadi Sultan yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rakhamd Syah, ia pun kembali ke Bengkalis beserta Panglima-panglimanya dangan membawa kemenangan yang gemilang. Semenjak kepulangannya ini, beliau selalu saja berada didalam lancang anaknya yaitu Datuk Bandar Jamal. Disanalah ia menurunkan segala ilmunya, baik dalam siasat perang, maupun dalam ilmu kebatinan yang menyangkut tentang kegagahan seorang panglima.

 

Tidak beberapa lamanya kemudian pada tahun 1722 M, ibunda dari Datuk Bandar Jamal yaitu Encil Mas jatuh sakit  dan langsung meninggal dunia. Sebagai pewaris pemerintahan di pangku oleh Datuk Bandar Jamal sebagai Datuk Bandar Bengkalis. Adapun isteri dari Datuk Bandar Jamal, anak dari Batin senderak yang bernama encik Mahiran melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Encik Ibrahim. Setelah Encik Ibrahim mencapai umur 15 tahun, ia dididik oleh kakeknya Panglima Tuagik dan ayah handanya yaitu Datuk  Badar Jamal ilmu peperangan, ilmu kebatinan dan ilmu-ilmu lainnya. Bukan saja tiori tetapi langsung dengan prakteknya sekali,

Para pembaca yang budiman kita kembali yang Dipertuan Raja kecil. Beliau meninggal Johor dan terus ke Lingga. Pada tahun 1722 M, beliau berangkat ke Bengkalis bersama isterinya untuk menemui panglima Tuagik. Sesampainya di Bengkalis diceritakannya peristiwa-peristiwa yang menimpanya sewaktu peninggalan Datuk Panglima Tuagik pulang ke Bengkalis. Panglima Tuagik setelah mendengarkan penuturan dari Yang Dipertuan Raja Kecil itu, sangatlah takjub atas kemurnian hati beliau dalam arti kata beliau sanggup meninggalkan kerajaan yang baru saja direbutnya, demi menjaga ketentraman dan kesentosaan Kerajaan Johor dan Rakyatnya. Tak beberapa lama beliau di Bengkalis, maka beliau menyamapaikan niatnya kepada Panglima Taugik untuk mendirikan sebuah Kerjaaan baru. Sejak itu dibuatlah  persiapan-persiapan untuk melakasanakan itu.

Pada permulaan tahun 1723 M, beliau teringat kembali kepada Bandar Sabar Aur di dalam Sungai Jantan dahulu, dan pernah beliau tinggalkan pesan bahwa beliau akan kembali ke Sabak Aur untuk menebus kemabali tali epoknya dengan darah Datuk Bandar Sabak Aur tersebut Kemudian maksudnya itu disampaikan kepada Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal. Mendengar perkataan itu Panglima Tuagik menjawab : harap Tuanku menangguhkan kepergian Tuanku itu, sebab kami berdua dengan anak kami akan ikut bersama Tuanku. Setelah kepergian ditunda, pada suatu hari yang Dipertuan Raja Kecil sedang berada di Pelabuhan Bengkalis, terlihat olehnya sampan sedang berkayuh di tengah, lalu dipanggilnya. Setelah sampan itu mendekat yang dipertuan Raja Kecil berkata “ Hei !! kamu hendak kemana ? dijawab orang yang berada dalam sampan “ kami dari Tanjung Padang, hendak pulang ke Selat Morong. Yang diepertuan Raja Kecil bertanya lagi “ Maukah kamu aku beri kerja dan pangkat ? orang didalam sampan menjawab “ mau, tetapi nantilah dahulu kami pulang dari Selat Morong, nanti kami akan datang lagi.

Antara beberapa minggu, datanglah mereka menemui yang dipertuan Raja Kecil. Satu diantara perahu kamu ditugaskan membawa rakit dan yang satu lagi untuk meretas (menetak) kayu yang terdapat di pinggir Sungai. Dan sebagai kepala dari yang membawa rakit aku namakan Batin Rakit (Batin Akit). Dari permulaan inilah adanya keturunan Batin Rakit dan Batin Ratas.

Kemudian setelah sampai waktu yang telah dijanjikan oleh Panglima Tuagik, berangkatlah mereka menuju kuala Sungai Jantan. Sesampai nya di Sabak Aur, diberitahulah kepada Datuk Bandar Sabak Aur bahwa Yang Dipertuan Raja Kecil bersama-sama Panglima Tuagik dan anaknya Datuk Bandar Jamal, datang menebus janjinya. Alangkah terkejudnya Datuk Bandar Sabak Aur mendengar berita itu. 

Panglima Tuagik bermohon, biarlah ia sendiri yang mengambil darah Datuk Bandar Sabak Aur itu, dengan cara menusuk ujung jari dari Datuk tersebut, dan mengeluarkan darah. Kemudian darah tersebut dimasukkan kedalam Cembulan Emas, lalu dikecap dengan lidah oleh Yang Dipertruan Raja Kecil. Selesai sudah acara tersebut mereka bermaaf-maafan dan mengikat tali persaudaraan.

Kemudian Yang Dipertuan Raja Kecil menyampai hajatnya untuk mencari tempat untuk dijadikan Istana. Setelah menemukan tempat yang baik untuk dijadikan negeri, Panglima Tuagik bermohon diri untuk pulang ke Bengkalis. Disanalah Yang Dipertuan Raja Kecil naik kedarat dan memperhatikan keadaan sekeliling sambil berkata : “ Inilah tempat yang sebaik-baiknya untuk dijadikan Negeri ( yaitu Buantan).

Kemudian disuruhnya orang-orang menebang hutan, alangkah sibuknya pada waktu itu. Bunyi kayu-kayu besar yang ditumbangkan sehingga orang yang hilir mudik di Sungai merasa heran sekali, dan mereka singah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Apabila dilihat oleh Yang Dipertuan Raja Kecil orang ramai, Beliau berkata  “Kamu sekali maukah kami upah untuk menebang kayu hutan ini” mereka menjawab “ Mau saja, asal upahnya bersesuaian “. Mendengar itu Yang Dipertuan Raja Kecilpun mengeluarkan uang Emas dari pundi-pundinya. Alangkah terkejutnya mereka melihat uang emas dan pundi-pundi yang dipegang oleh Yang Dipertuan Raja Kecil itu.

Sebab biasanya orang yang memakai pundi-pundi seperti itu adalah keturunan dari orang-orang besar dari Suatu Kerajaan. Dugaan mereka tepat sekali, setelah mendengar keterangan pengikut-pengikut dari Yang Dipertuan Raja Kecil, bahwa beliau adalah Sultan Johor yang akan membuat suatu Negeri baru.

 

Setelah mendengar perkataan itu mereka semua berjanji, bahwa mesreka sanggup berkorban dan bekerja demi untuk Sultan Mereka. Antar bebrapa bulan mereka bekerja Siaplah Istana benerta rumah dan balai-balainya. Kemudian yang Dipertuan Raja Kecil pun hendak meresmikan Kerajaannya. Oleh pengikutnya yang dibawa dari Pagaruyung dahulu menyatakan “Tuanku, jika Tuanku mau meresmikan Kesultanan Tuanku, haruslah ada persetujuan hamba rakyat Tuanku, dan harus disaksikan kepala Pemerintahan dari luar pemerintahan Tuanku, juga dengan persetujuan dan pengangkatan dari orang-orang besar Tuanku. Lalu dijemputlah Panglima Tuagik serta Datuk Bandar Jamal beserta beberapa orang lainnya.

Setalah hadir semuanya, maka diresmikanlah kesultanan ini. Lalu berdirilah Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal beserta orang-orang besar yang dibawanya dari Pagaruyung, bahwa yang Dipertuan Raja Kecil di gelar dengan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah , Sultan Siak I tahun 1723 M.

JANJI SETIA ANTARA PANGLIMA TUAGIK DAN SULTAN SIAK SRI INDRAPURA

Setelah itu Sultan menyatakan pula “Dengan ini dari permulaan hari ini hingga sampai pemerintahan anak cucu kami nantinya, harus tetap setia sebagaimana yang kita saksikan pada hari ini. Pengangkatan anak cucu kami menjadi Sultan nanti hendaklah digelar oleh turunan Panglima Tuagik dan turunan Datuk Bandar Jamal, dan disetujui oleh orang-orang besar kerajaan Siak Sri Indrapura“. Kemudian segala yang hadir serentak menjawab “Daulat Tuanku, Daulat Tuanku, Daulat Tuanku. Adapun orang-orang besar Kerajaan Siak Sri Indrapura, untuk mendampingi Sultan dalam melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari yang merupakan kepada persukuan, Kepala suku digelar dengan Datuk antara lain :

1.    Datuk Lima Puluh, yang dibawanya dari Pagaruyung yang bersama Bebas Sri Bijuangsa.

2.    Datuk Pesisir, ialah Syawal Sri Dewa Raja.

3.    Datuk Tanah Datar bernama Syamsudin Sri Perkiraan.

4.    Datuk Kampar bernama Hamzah, gelar Buyung Ancah (Putra Titah Sungai Tarap).

Adapun Datuk yang berempat ini dinamakan Datuk-datuk empat suku. Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah adalah Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama mempunyai tiga orang Putra yaitu:

1.    Tengku Alam bergelar Yang Dipertuan Muda.

2.    Tengku Ngah, meninggal sebelum dewasa.

3.    Tengku Buang Asmara bergelar Tengku Mahkota.

Menjelang akhir hayatnya Sultan ini sering-sering sakit. Dalam keadan beliau yang sangat uzur itu terjadi pula perselisihan antara kedua Putra beliau, sampai-sampai meletuskan perang saudara. Dengan adanya hal tersebu Sultan yang sedang sakit itu makin bertambah sakitnya. Untuk selanjutnya dipanggilnya kedua Putranya, diwaktu itulah beliau berkata : “ Jika kamu tidask mau menurut titahku, pergilah kamu dari Negeri yang aku dirikan dengan susah payah ini. Negeri ini bukanlah untk tempat pertarungan kamu“ .

Berdasarkan ucapan inilah Putra beliau yang tertua yaitu Tengku Alam yang bergelar Yang Dipetuan Muda, meninggalkan Buantan. Hal ini pulalah yang menyebabkan penyakit Sultan bertambah parah dan pada tahun 1746 M mangkatlah beliau. Dan setelah mangkat digelarlah beliau Almarhum Buantan (Mahum Buantan).

Sebagaimana yang telah diikrarkan oleh Sultan diwaktu pengangkatannya menjadi Sultan yang pertama, Pengngkatan Sultan-sultan Siak Sri Indrapura hendaklah digelar oleh keturunan Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal juga dihadiri oleh Datuk-datuk yang berada di Kerajaan Siak Sri Indrapura. Maka dari itu dijemputlah Datuk Panglima Tuagik serta Datuk Bandar Jamal, untuk menghadiri dan memberi gelar atas penebotan Tengku Buang Asmara menjadi Sultan Siak Sri Indrapura yang kedua dengan gelar Sultan Muhammad Abdul Muzafar Syah tahun 1746 M. adapun kemangkatan Sultan Abdul Jalil Rakhmad Syah Ayahndanya, adalah akibat dari perselisihannya dengan kekandanya Tengku Alam dahulu, dan ini menjadi penyesalannya yang tidak berkesudahan.

Dengan sedih beliau mengenangkan kepergian kekandanya yang tidak terdengar kabar beritanya. Untuk menghilangkan kenangan pahit dan memilukan ini, beliau memutuskan untuk membuat Negeri baru dan memindahkan ibu Kerajaan kesatu tempat yang lain.

Sekitar tahun 1750 M, dibangunlah satu negeri pada suatu tempat yang bernama MEMPURA. Setelah selesai di bangun, maka pindahlah Ibu Kerajaan ke Mempura Besar Ini. Sejak itulah Sungai Jantan berubah namanya menjadi Sungai Siak, karena didalam Sungai Mempura besar banyak batang Siak-siak.

 

Adapun pada masa itu kuku Belanda telah menghunjam di semenanjung Tanah Melayu dan oleh Sultan Johor yang telah mempunyai dendam terhadap Yang Dipertuan Raja Kecil dahulu memberi isyarat kepada Belanda supaya menyerang dan menguasai kerajaan baru ini, sebagai pewaris dari Yang dipertuan Raja Kecil.Kesempatan inilah yang ditunggu-tunggu oleh Belanda, dengan cara halus Belanda mengirimkan utusan kepada Sultan Siak, bermohon diberikan kesempatan untuk mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Sultan Siak. Dari semenjak itulah kapal-kapal dagang Belanda mengangkut hasil bumi daerah ini sebagaimana biasa sifat dan taktik penjajah, setelah hubungan erat dengan Sultan, sekali lagi Belanda bermohon kepada Sultan agar diperolehkan mendirikan sebuah Loji di Pulau Guntung, dekat dengan Sungai Siak. Sultan sangat terpengaruh dengan bujukan dari Belanda ini, dan menyetujuinya pula.

Pada tahun 1756 M, berdirilah Loji Belanda di Pulau Guntung itu Pada mulanya Belanda bersikap manis dan lunak, bahkan merendah, tetapi setelah Lojinya kuat dan kokoh dengan peralatan perang maka mulailah kelihatan belangnya.

Terhadap pedagang-pedagang yang melewati Lojinya dikenakan pajak kepala (Pancung Alas). Para Nelayan harus membawa hasil tangkapan ikannya kepada Belanda. Mulailah kegelisahan dikalangan rakyat, terutama dari Bengkalis dan sekitarnya.

“Kita kembali kepada Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal. Setelah selesai acara penobatan Tengku Buang Asmara menjadi Sultan Siak maka  Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal pulang ke Bengkalis”.

Pada waktu itu negeri Bengkalis sangat aman dan makmur, demikian pula Panglima Tuagik dan Datuk Bandar Jamal serta anaknya Encik Ibrahim  senantiasa bersukaria dan berlatih cara berperang didalam Lancangannya.

Pada suatu hari Panglima Tuagik menasehatkan kepada anak dan cucunya Encik Ibrahim: “ Kalau kita sebagai kepala Pemerintahan jangan sekali-kali mungkir janji, ikrar kita hendaklah dimuliakan. Sebagai amanah dariku, peliharalah segala senajata-senjata yang telah kutinggalkan kepadamu dan keturunanku yang akan datang yaitu beberapa batang mariam, terutama meriam Sumpitan Bone dan beberapa batang keris antara lain Keris Tabe Alam, Keris Tuasik, Keris Sumarik dan Keris Gambar.

Adapun keris Tabe Alam artinya;  seluruh alam tunduk padanya, dengan kata lain tidak ada sesuatu senjatapun yang bisa menandinginya. Barangsiapa yang memegang/memakainya ia akan menjadi kepala dari segala Panglima. Adapun Keris Tuasik, barang siapa yang memakainya ia akan menjadi orang besar diantara negeri itu.

Satu lagi pesanku kepadamu dan anak cucuku dikemudian hari jangan membawa luka dibelakang berarti lari. Kalau berlaku juga hal tersebut berarti dia bukanlah keturunanku “demikianlah beberapa pesanan dan amanah dari Panglima Tuagik kepda cucunya Encik Ibrahim.

 

Tidak betapa lama Panglima Taugik masuk dalam Kholawatnya. Ia tidak keluar beberapa lamanya dari tempat itu, sehingga menimbulkan rsa ingin tahu didalam hati cucunya Encik Ibrahim. Pada suatu hari pergilah Encik Ibrahim mengintip datuknya yang sudah sekian lama tidak keluar, alangkah terkejutnya ia melihat Datuknya tidak ada lagi.

Dengan hati yang kesal ia pergi memberitahukan hal ini kepada ayahnya Datuk Bandar Jamal. Kemudian mereka bersama-sama pergi ketgempat itu, benar hal itu  terjdi pada diri Panglima Taugik. 

Peristiwa ini berlaku pada tahun 1750 M, dengan adanya kejadian ini genaplah umur Panglima Taugik 100 tahun (tiga puluh tahun ia dibesarkan di Sulawesi dan tujuh puluh tahun ia berada di Bengkalis.).

Adapun Datuk Bandar Jamal sepeninggalan ayahndanya ia tetap menjalankan pemerintahan sebagimana bisa, hubungan dengan Kerajaan Siak Sri Indrapura tetap berjalan sebagaimana biasa. Pada waktu Datuk Bandar Jamal mengadakan perondaan mengelilingi Pulau Bengkalis, mengarungi Selat Malaka dan Selat Bengkalis dengan Lancang Kuningnya (Lancang Kuning ini ialah nama dan benda kenaikan raja Mahmud Raja Muda, Raja Ikan Terubuk, yang dicontoh oleh Datuk Bandar Jamal tatkala Raja Muda ini datang menemui Datuk Bandar Jamal didalam mimpinya).

Sesampainya diujung Pulau Bengkalis disebelah Barat, bertemulah dengan sebuah kapal Belanda. Oleh Datuk Bandar Jamal diperintahkannyalah juru mudi Lancangnya menuju ke Kapal dagang Belanda itu. Berlayarlah Lancang Kuning Datuk Bandar Jamal dengan megahnya dengan Lambang Bendera Hijau Lumut. Setelah berdampingna, ditanyalah oleh Datuk Bandar Jamal tujuan dan maksud kapal Belanda tersebut. 

Pertanyaan itu dijawab oleh orang yang didalam kapal Belanda itu bahwa ia adalah utusan Belanda yang berada di Johor untuk menemui Sultan Siak Sri Indrapura. Selesai mengadakan tanya jawab dengan Belanda itu, maka kapal itupun berpisah dengan tujuannya masing-masing. Didalam perjalanan Datuk Bandar Jamal bercerita dengan Panglima-panglimanya yang berada didalam kapalnya itu (Lancang), bahwa Siak nantinya pasti dijajah oleh Belanda. Kita mau tidak mau akan menghadapi peperangan dengan Belanda.

Dugaan Datuk Bandar Jamal itu tepat sekali, pada tahun 1760 M datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura, bahwa Sultan mengharap sangat bantuan yang sepenuhnya dari Datuk Bandar Jamal untuk meyerang Loji Belanda yang berada di Pulau Guntung. Didalam surat itu dinyatakan juga bahwa Belanda mengabuli Kedaulatan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kami telah mengirimkan wakil untuk menegur perbuatan Belanda yang kurang menyenangkan itu.

Maka untuk itu kami Sultan Siak Sri Indrapura, mengambil keputusan untuk menyerangnya. Tetapi meningat Loji Belanda itu mempunyai persenjataan dan peralatan yang tangguh, maka penyerangan hendaklah diatur dengan licin dan sebaik-baiknya.

Dinyatakan juga didalam surat itu cara-cara yang telah diatur untuk penyerangan itu sebagai berikut :

Kami Sultan Siak Sri Indrapura mengirimkan surat kepada Belanda yang menyatakan bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura akan mengadakan perundingan persahabatan yang lebih erat dengan Belanda dan mengantarkan berupa hadiah yang akan diantarkan oleh Sultan Siak sendiri beserta seorang anaknya yang masih kecil. Dalam pada itu Panglima-panglima Siak akan menyamar orang upahan untuk mengangkat talam-talam yang berisikan hadiah itu, yang sebenarnya isi talam itu ialah senjata-senjata yang diperlukan dalam penyerangan itu nanti. Demikianlah rencana kami dari Siak, selanjutnya kami mengharapkan kepada Datuk Bandar Jamal setelah tiba saat yang ditentukan datanglah dan adakan penyerangan besar-besaran  kepada Loji Belanda itu setelah surat dibaca Datuk Bandar Jamal menjawab: Insya Allah, kami dari Bengkalis tetap membantu dan melaksanakan sebagaimana yang dimaksudkan Sultan.

 

Sepeninggal utusan itu Datuk Bandar Jamal mempersiapkan segala keperluan untuk menghadapi peperangan dengan Belanda itu. Kerajaan Siak pun mengirimkan utusannya kepada Belanda yang berada di Guntung, Belanda yang tidak menduga sama sekali, bahwa Sultan Siak Sri Indrapura mau bersahabat dengan Belanda, apalagi memberi hadiah. Mereka menerima baik maksud Sultan ini, tetapi dengan syarat sebagai berikut :

1.    Belanda menerima kehendak Sultan untuk mengunjungi Loji Belanda di Guntung, tetapi hendaklah melarang orang-orang membawa senjata tajam mengunjungi Loji.

2.    Seluruh kapal-kapal Sultan tidak boleh merapat di dermaga Loji. Orang-orang Siak di jemput dengan sekoci, oleh Serdadu-serdadu Belanda.

Syarat ini diterima oleh Sultan demi kelancaran siasat tersebut, Pada penghujung tahun 1760 M, tepat dengan janji Sultan kepada Datuk Bandar Jamal itu berangkatlah Lancang Kuning Murai Batu Datuk Bandar Jamal menuju Kuala Siak, dan berlindung disana sambil menunggu kode/isyarat bunyi dari Sultan.

Serentak dengan itu Angkatan Sultan pun berangkat juga dari Siak menuju Loji Belanda yang berada di Guntung. Dalam perjalanan itu, sebahagian dari panglima-panglima Siak naik ke darat untuk mengadakan penyerangan dari daratan. Sultan dengan kenderaannya yang bernama Lancang Kuning Sri Buantan meneruskan perjalanannya menuju Loji Belanda tersebut.

Kedatangan Sultan itu disambut oleh Belanda dengan senang hati. Seluruh pengiring Sultan dipersilakan naik kedarat, lengkap dengan talam-talam yang berisikan hadiah. Karena hari telah hampir mendekati kegelapan senja dan masuk waktu magrib. Maka orang-orang Siak melakukan sembahyang magrib diluar Benteng Belanda itu. Selesai sembahyang magrib, barulah diadakan pertemuan antara kedua belah pihak. 

Komandan Loji yang merasakan dirinya berkuasa penuh di daerah itu, maka timbullah rasa keangkuhannya kepada Sultan, dan berkata : “Tuanku Sultan, sekarang Tuanku sudah berada di Benteng kami, sebaiknya Sultan menurut saja apa yang kami tentukan.

Mendengar perkataan orang Belanda, Sultan tetap tenang saja. Walaupun di dalam hatinya berkecamuk perasaan ingin bertindak , tepat pada waktu yang ditentukan Sultan memberi aba-aba kepada seluruh pengiringnya, baik yang ikut secara nyata maupun yang bersembunyi di dalam semak belukar di sekitar Benteng itu : “Serbu!!!, serang Belanda!! Serentak dengan seruan itu Sultan menghunus kerisnya dan langsung menghujum ke dada komando Loji dan terjadilah pertempuran yang kacau balau. Datuk Bandar Jamal setelah hari hampir gelap, Lancang Kuning mendekati Loji. 

Setelah melihat kode/isyarat yang diberikan, Lancang Kunignya memuntahkan peluru-peluru meriamnya ganti berganti, sehingga Belanda menjadi kocar kacir. Panglima-panglima yang dari semak belukar itupun keluar dengan gagah beraninya mengamuk, akhirnya Loji Belanda yang megah itu sunyi senyap, karena tidak ada satupun tentara Belanda yang masih hidup berada di sana. Selesailah sudah peperangan yang berkobar ini antara Belanda dengan Sultan Siak Sri Indrapura yang memakan waktu tidak begitu lama.

Sultan kembali naik ke Lancang Kuningnya, kemudian memberi isyarat kepada Datuk Bandar Jamal, agar menghancurkan Loji Belanda ini. Isyarat dari Sultan ini diterima oleh Datuk Bandar Jamal dengan tidak berlengah-lengah lagi, Lancang Kuning Datuk Bandar Jamal memuntahkan peluru-peluru panas kearah Loji Belanda itu, sehingga sedikitpun tidak meninggalkan bekas bangunan lagi.

Saudara pembaca yang terhormat, kisah peperangan ini terkenal didalam sejarah baik di Kerajaan Siak Sri Indrapura maupun dalam sejarah Bukit Batu dengan Perang Gantung.

Beberapa lamanya perhubungan antara Siak Sri Indrapura dengan Belanda terputus. Tetapi Sultan Siak Sri Indrapura tidaklah tinggal diam saja, beliau mempersiapkan diri dengan mendirikan Benteng-benteng pertahanan yang dilengkapi dengan meriam-meriam, sebahagian meriam itu rampasan dari Loji Belanda yang mengalami kekalahan dalam perang Guntung tersebut.

Pada tahun 1761 M, Baginda mengadakan keramaian genapnya lima belas tahun beliau memerintah di kerajaan Siak Sri Indrapura. Di dalam keramaian tersebut, Baginda Sultan menghadiahkan kepada Datuk Bandar Jamal seorang selirnya yang terlebih dahulu secara Islam, sebagai tanda terima kasihnya kepada Datuk Bandar Jamal yang telah membantunya dalam perang melawan Belanda di Guntung dahulu. 

 

Kemudian setelah habis masa edahnya barulah dinikahi oleh Datuk Bandar Jamal secara Islam pula. Semenjak itu seringlah Datuk Bandar Jamal berulang ke Siak, setahun kemudian istrinya Datuk Bandar Jamal yang berada di Siak Sri Indrapura itu melahirkan seorang anak laki-laki yang dinamakan Encik Baki.

Kerajaan Siak Sri Indrapura, sewaktu pemerintahan Sultan Muhammad Abdul Muzafar Syah sangat kuat baik dalam pertahanan maupun dalam hal-hal yang lain. Tetapi sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT, umur manusia ini sudah ditentukannya. Beliau mangkat pada tahun 1765 M, dan memerintah selama 19 tahun. Setelah beliau mangkat digelar dengan gelar MARHUM MEMPURA. Sebelum beliau mangkat, beliau berpesan kepada putranya yaitu Tengku Ismail :

1.    Jangan sekali-kali mau tunduk kepada Belanda Kafir itu.

2.    Jangan sekali-kali berperang sesama saudara/keluarga sendiri.

3.    Seandaina Tengku Alam (abangnya) yang bergelar dipertuan Muda, kembali ke Siak, hendaklah kamu serahkan tahta Kerajaan kepadanya.

Begitulah bunyi pesan beliau kepada Putranya Tengku Ismail, yang kemudian dinobatkan menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah tahun 1765 M, adapun pergelaran ini dilakukan oleh Datuk Bandar Jamal, seperti yang diamanahkan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama, dan disetujui oleh Datuk-datuk Empat Suku, juga pembesar-pembesar Kerajaan.

Tetapi sayangnya Sultan ini tidak lama memerintah, di sebabkan setelah satu tahun memerintah, datanglah serangan Belanda yang mempergunakan Tengku Alam sebagai perisai. Akibat dari kemenangan Sultan Muhammad Abdul Jalil Muzafar Syah dahulu menjadi duri dalam daging bagi Belanda yang berada di Johor, walaupun mereka kelihatan tenang-tenang saja.

Tetapi mereka mengatur siasat bagaimana untuk menebus kekalahan tersebut Bertepatan pula pada waktu itu Tengku Alam saudara dari Tengku Buang Asmara yang telah meninggalkan Siak Sri Indrapura dahulu sampai pula ke Johor dari perantauannya, kesemapatan ini tidak disia-siakan oleh Belanda yang licik itu.

Dengan rayuan yang manis, dibujuknya Tengku Alam supaya pulang ke Siak Sri Indrapura dan menduduki Tahta Kerajaan yang sebenarnya beliaulah yang berhak menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dan bukan keturunan Tengku Buang Asmara. Tengku Alam menolak bujukan dari Belanda itu, tetapi Belanda tidak putus asa. Belanda terus berusaha untuk membujuknya lagi, dan Belanda menjanjikan kepada Tengku Alam untuk menjamin keselamatan dan keutuhan Kerajaan Siak Sri Indrapura, seandainya beliau dinobatkan menjadi Raja kelak.

Akhirnya Tengku Alam terpujuk juga dengan janji-janji manis dari Belanda ini, dengan syarat Belanda jangan merusak persahabatannya, dengan mencampuri urusan kekeluargaan kerajaan Sri Sri indrapura persyaratan ini di terima oleh Belanda ini atas dasar inilah Tengku alam kembali ke Siak besama-sama dengan angkatan perang Belanda. Berita ini cepat sampai ke Siak Sri indra pura.

Adapun Sultan Ismail Abdul Jalal Jalaludin Syah segera mengadakan musyawarah dengan orang-orang besar Siak dan Panglima-panglimanya. Sidang memutuskan, walau bagaimanapun pasukan Belanda harus dihadapi dengan cara apapun juga, maka diaturlah perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan untuk menghadapi Belanda ini.

Pada tahun 1766 M, bertemulah kedua angkatan perang ini di Kuala Sungai Siak, dan terjadilah pertempuran yang dahsyat tetapi Belanda yang telah lama mempersiapkan dirinya dengan angkapan perangnya yang lebih sempurna, dan akhirnya angkatan perang Siak dapat di pukul mundur sampai kepinggir koto Siak Sri Indrapura.

 

Pada waktu penyerangan Belanda ini Datuk Bandar Jamal belum mengetahuinya. Tetapi akhirnya ia mendapat kabar juga, tentang kerajaan ini. Dengan tidak membuang waktu lagi, berangkatlah beliau dengan Lancang Kuningnya dan beberapa puluh buah kapal lagi yang membawa panglima-panglima dari Bengkalis.

Sesampainya dekat kejadian itu Lancang Kuning kenaikan Datuk Bandar Jamal memuntahkan peluru-peluru meriamnya kearah kapal Belanda itu. Belanda menjadi kucar kacir mendapat serangan yang tiba-tiba itu, apalagi datang dari belakang. 

Sedangkan dari hadapan tembakan-tembakan dari Angkatan perang Siak bertambah gencar, mereka ini mempergunakan rakit-rakit berapi, sampan-sampan yang berisi mesiu, dan pahlawan-pahlawan Siak mengadakan Jihatnya (jibaku), sehingga beberapa buah kapal perang Belanda banyak yang dapat di tenggelamkan, Belanda hampir mendekati kekalahan.

Pada saat yang genting ini Belanda mempergunakan Tengku Alam sebagai perisai. Dengan perasaan sedih dan bercampur dengan kemarahan, Komandan Angkatan Perang Belanda bermohon kepada Tengku Alam supaya mengirim surat kepada Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah dan kepada putranya sendiri yaitu Panglima Besar di Kerajaan Siak Sri Indrapura, untuk memberhentikan pertempuran. 

Surat Tengku Alam diterima oleh Sultan Siak dan dibacanya dihadapan para pembesar Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan berlinang mata, perasaannya berkecamuk antara kemenangan yang dihadapan mata atau saudara kandung ayahnya yang telah diamanahkan oleh ayahnya untuk mengembalikan Tahta kerajaan, seandainya pamannya itu kembali ke Siak Sri Indrapura ini.

Sultan memilih amanah orang tuannya yaitu menyerahkan tahta Kerajaan Siak Sri Indrapura kepada pamannya Tengku Alam. Walaupun pengorbanan yang tidak terhingga yang akan dialaminya. Dikeluarkanlah perintah untuk memberhentikan pertempuran, dan mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Pamannya, dan mempersiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan Pamannya itu.

Tidak beberapa lama kemudiannya dinobatkanlah Tengku Alam menjadi Sultan di Kerajaan Siak Sri Indrapura dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamsyah. Sedangkan Tengku Ismail, sesudah meletakkan jabatannya sebagai Sultan, beliau mengundurkan dirinya ke Langkat, dan meninggal di sana dengan gelar Marhum Balai 1766 M.

Inilah awal permulaan cengkeraman kuku Belanda keatas Kerajaan Siak Sri Indrapura. Lambat laun cengkeraman itu meluas sampai daerah sekitarnya. Adapun pengangkatan dari Tengku alam ini tidak disetujui oleh Datuk Bandar Jamal, karena penobatan tersebut tidak lagi menurut amanah dari Sultan Siak yang pertama (Yang dipertuan Raja Kecil).

Oleh sebab itu, Datuk Bandar Jamal kembali ke Bengkalis, dan memutuskan hubunganny dengan Siak Sri Indrapura. Menurutnya Kerajaan Siak Sri Indrapura tidak harus di hormati dan dipatuhi lagi sebab Kerajaan Siak Sri Indrapura telah dicampuri Belanda. Istana Sultan telah di injak oleh Belanda Kafir, ditambah pula lagi bahwa penobatan Sultan tidak lagi menurut ikrar yang telah di ikrarkan oleh Sultan Siak Sri Indrapura yang pertama.

Perasaan yang kurang menyenangkan dalam hati Datuk Bandar Jamal tersebut disampaikan kepada Sultan dengan melalui surat, apabila Sultan menerima dan membaca surat tersebut timbulah murkanya dan Datuk Bandar Jamal dipanggil ke Siak Sri Indrapura.

 

Tetapi panggilan itu tidak dihiraukan oleh Datuk Bandar Jamal. Peristiwa ini hampir melibatkan perpecahan dan peperangan antara kerajaan Siak dengan Bengkalis, tetapi Datuk Bandar Jamal tidak berpikir demikian, Beliu menasehatkan kepada anaknya yaitu Encik Ibrahim dan penglima-panglimanya yang ada di Bengkalis jangan menjadi permusuhan di kemudian hari. Beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan Bengkalis, sebab Sultan murka dengannya saja. 

Pada tahun 1767 M, berangkatlah Datuk Bandar Jamal dengan Lancang Kuningnya menuju Malaka. Semenjak itulah beliau menetap disana disuatu kampung yang bernama Perenu. Disini pulalah beliau mengakhiri riwayatny. Beliau dimakamkan diatas sebuah Bukit yang banyak ditumbuhi pohon Ketapang, oleh sebab itu beliau digelar Datuk Ketapang.

Pemerintahan Bengkalis, sepeninggal Datuk Bandar Jamal dipegang oleh anaknya yang bernama Encik Ibrahim dengan gelar Datuk Sri Maha Raja Lela. Beberapa lamanya beliau memerintah di Bengkalis datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura yang isinya, bahwa Sultan Siak mengundang Datuk Sri Maha Raja Lela ke Siak untuk memperbaiki hubungan antara Bengkalis dengan Siak Sri Indrapura yang telah lama terjalin semenjak Kerajaan Siak Sri Indrapura berdiri.

Datuk Sri Maha Raja Lela berangkat ke Siak, sesampainya di sana beliau disambut oleh orang-orang besar Kerajaan dan langsung di bawa menghadap Sultan. Didalam pertemuan itu Sultan  mengakui kesalahannya terutama mengenai pengangkatan Sultan tidak menurut amanah yang telah di amanahkan oleh Sultan Siak Pertama.

Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Datuk Bandar Jamal dahulu mengenai Belanda kafir itu memang benar. Belanda yang telah diberikan keizinan berdagang dari Sultan itu memperbesar pengaruhnya. Hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, Sultan Abdul Jalil Alamsyah sendiri merasa sedih, atas kerakusan Belanda ini.

Kemudian teringat pula ia kepada kemanakannya yang telah pergi, terbayang pula bagaimana ia dahulu pergi membawa diri. Dikarenakan Sultan ini seorang yang alim dan taat kepada agama kesedihan itu tidak dinampakannya, hanya disimpan di dalam hatinya, hanya ia berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi kesejahteraan beliau dan rakyatnya.

Kemudian Sultan bertitah kepada Datuk Sri Maha Raja Lela, berharap dari mulai sekarang ini, marilah kita pupuk kembali hubungan kita antara Siak dan Bengkalis. Beta harap kapada Datuk, segala sesuatu yang telah berlaku adalah menjadi pelajaran bagi kita dan anak cucu kita di belakang hari. Selanjutnya kami harap kepada Datuk, meskipun Datuk telah bergelar di Bengkalis, kami akan mengadakan perlantikan/memberi gelar keatas diri Datuk. Ini untuk mengembalikan amanah yang telah diamanahkan dahulu oleh keturunan kami. Sesuai dengan kedudukan Datuk yaitu daerah lautan, dengan ini kami gelar dengan gelaran DATUK LAKSEMANA RAJA DILAUT.

Dengan selesainya penggelaran ini berarti Datuk Ibrahim mempunyai dua gelaran :

1.    Datuk Sri Maha Raja Lela yang didapatinya dari Bengkalis.

2.    Datuk Laksemana Raja Di Laut yang didapatinya dari Sultan Siak Sri Indrapura.

Inilah permulaan keturunan Panglima Tuagik bergelar Laksemana sampailah nantinya kepada Datuk Ali Akbar Laksemana yang terakhir.

Selesai saja pelantikan itu, amaka Datuk Lakseman Raja Dilaut bermohon diri untuk pulang ke Bengkalis. Tidak berapa lama, beliau membuat sebuah Lancang berwarna Kuning berbentuk sebuah kapal penjajap (penjelajah) lengkap dengan meriam-meriamnya dan alat-alat lain yang berguna untuk keperluan perang, diantara meriam-meriam itu ialah :

1.    SUMPITAN BONE, yang dibawa oleh Daeng Tuagik dari Sulawesi, terbuat dari kuningan made in Roma.

2.    TUPAI BERADU, dari Petapahan (namanya Tupai Beradu karena pada meriam itu tergambar dua ekor Tupai) juga terbuat dari kuningan.

3.    dan lain-lain.

 

Adapun Sumpitan Bone di bahagian muka di atas apelannya, sedangkan meriam Tupai Beradu di sebelah kanan Penjajap dan di sebelah kirinya kawan dari meriam Sumpitan Bone. Di bahagian belakangnya diletakkan dua buah meriam yang lebih kecil dari pada yang dimuka, semuanya terbikin dari kuningan.

Demikianlah magahnya kapal perang Datuk Sri Maha Raja Lela, yang juga bergelar Datuk Laksemana Raja Dilaut. Diatas tiangnya (tiang layar) berkibar bendera yang berwarna hitam, kuning, hitam diatas kuning di tengah dan dibawahnya hitam lagi. Bendera ini adalah bendera persatuan antara Siak Sri Indrapura dengan Bengkalis (Datuk Sri Maha Raja Lela atau Datuk Laksemana Raja Dilaut). Pada tiang belakangnya berkibar pula bendera yang berwarna Hijau Lumut.

Keterangan bendera tersebut ialah sebagai berikut :

1.    Kuning ditengah adalah lambang Kerajaan Siak Sri Indrapura (Raja)

2.    Hitam adalah lambang/pakaian Hulubalang. Hijau Lumut melambangkan kemakmuran (Bendera Bengkalis). 

Dengan keterangan tadi dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa Kerajaan Siak Sri Indrapura (Raja) dilindungi oleh Datuk Laksemana Raja Dilaut.

PERMULAAN JAYANYA BUKIT BATU TAHUN 1780 M

Pada tahun 1780 M, Datuk Laksemana Raja Dilaut bermaksud memindahkan Ibu Negerinya ke Bukit Batu. Pada tahun itu juga pindahlah Ibu Negeri ke Bukit Batu (daerah Bukit Batu Laut sekarang ini). Tidak berapa lama kemudian datanglah utusan dari Siak Sri Indrapura menjumpai Datuk Laksemana Raja Dilaut/Datuk Sri Maha Raja Lela, utusan itu mengatakan bahwa adik Datuk Laksmana yang bernama Encik Baki, (Encik Baki adalah anak dari Datuk Bandar Jamal bersama isteriya yang berada di Siak) telah melakukan pembunuhan Tabib pribadi Sultan.

Dikarenakan Encik Baki adalah adik dari Datuk Laksemana sendiri, maka Sultan Siak Sri Indrapura tidak mau menjatuhkan hukuman langsung. Terserahlah kepada Datuk Laksemana nantinya. Mendengar penuturan dari utusan Siak itu Datuk Laksemana berangkatlah ke Siak Sri Indrapura. Sesampainya di Siak beliau langsung menghadap Sultan dan berkata “Apa boleh buat Tuanku, dalam menjalankan pemerintahan, siapa saja yang bersalah pasti menerima hukumannya walaupun yang bersalah itu adik sendiri. Hukum nyawa harus dibayar dengan nyawa pula”. 

Kemudian Datuk Sri Maha Raja Lela memanggil adiknya Encik Baki menjatuhkan hukuman kepadanya dengan hukuman Sulo. Tetapi dinyatakan kepada sipenikam (algojo) sebagai berikut:

1.    Harus mati sekali Tikam

2.    Tidak boleh melebihi dari luka yang terdapat pada luka orang yang ditikam oleh Encik Baki dahulu yaitu ½ inci, ataupun kurang dari itu.

3.    Apabila tidak menurut ketentuan tersebut, hukuman berpindah kepada si penikam.

Maka dijalankahlah hukuman itu didepan orang ramai agar dapat disaksikan oleh mereka sebagai contoh perbuatan sendiri. Tepat sekali apa yang dimaksud dalam ketentuan tersebut, tidak kurang dan tidak pula lebih. Setelah selesai hukuman dijalankan, Datuk Sri Maha Raja Lela tidak keluar-keluar dari rumah beberapa hari, beliau memendam kesedihan yang tidak terhingga, Beliau menyerahkan ini semua kepada Takdir Allah Swt, dan menjalankan apa yang tercantum di dalam kitab Allah yaitu Al-Qur’an.

Setelah Beliau berkabung beberapa hari, beliau memohon diri kepada Sultan untuk pulang ke Bukit Batu, tetapi Sultan menangguhkan keberangkatan Datuk Sri Maha Raja Lela itu, dengan maksud beliau akan menganugerahkan gelar kepada Datuk Sri Maha Raja Lela karena kesetiaannya kepada Sultan, yang sanggup membunuh adiknya sendiri demi menjaga marwah dari Sultan sendiri. Gelar yang akan dianugerahkan itu ialah : DATUK LAKSEMANA MAHA RAJA LELA SETIA DIRAJA.

 

Dari Datuk Laksemana Maha Raja Lela Setia Diraja inilah tersebar dimana-mana keturunan dari Panglima Tuagik. Datuk Lakseman Sri Maha Raja Lela Setia Diraja ini menikah dengan Encik Saimah anak dari Penghulu Dumai yang pertama, mempunyai anak sebanyak tujuh orang.

Dua laki-lak dan lima perempuan, antara lain ialah :

1.    Encik Mansayu     (perempuan)

2.    Encik Aminah    (perempuan)

3.    Encik Nandak     (perempuan)

4.    Encik Nombih    (perempuan)

5.    Encik Dobih     (perempuan)

6.    Encik Khamis    (laki-laki)

7.    Encik M.Yusuf/E.Ayat    (Laki-laki)

Adapun Isteri beliau yang kedua, anak dari Batin Bengkalis yang bernama Gundah, anaknya itu bernama : Encik Mahintan, dan Encik Mahintan beranak :

1.    Encik Umar    (Laki-laki)

2.    Encik Epong    (perempuan) (meninggal semasa gadisnya)

Kita kembali ke Kerajaan Siak Sri Indrapua, pada saat itu Sultan sedang memikirkan tentang kepergian kemanakannya yang telah mangkat di Langkat dengan gelar Marhum mangkat di Balai. Beliau bermaksud untuk memindahkan Ibu Kerajaannya ketempat lain. Maksudnya ini tercapai dengan pindahnya Ibu Kerajaan dari Mempura ke Senapelan (Pekan Baru sekarang ini) tahun 1775 M.

Sultan Siak Sri Indrapura ini mempunyai keturunan sebanyak 5 (lima) orang antaranya :

1.    Tengku Muhammad Ali yang bergelar Tengku Panglima Besar.

2.    Tengku Embung Badariah.

3.    Tengku Akil

4.    Tengku Hawi

5.    Tengku Oesman.

Setelah setahun beliau memerintah di Senapelan, terniat pula dihati beliau untuk mencari menantu keturunan dari Nabi Besar Muhammad S.A.W. akhirnya niat beliau tercapai juga, dengan mengawinkan Tengku Embung Badariah dengan Saiyid Syarif Oesman Ibnu Saiyid Syarif Abdurrahman Sahabuddin.

Adapun Tengku Alam (Sultan Siak Sri Indrapura yang memerintah pada saat itu) hari tuanya dihabiskan dengan beramal dan beribadah kepada Allah SWT saja. Hinggalah beliau mangkat pada tahun 1780 M, setelah beliau mangkat digelarlah dengan gelar Marhum Bukit, dan dimakamkan didepan Masjid Raya Pekanbaru sekarang ini.

Adapun sebagai pengganti beliau, dinobatlah anaknya yaitu Tengku Muhammad Ali dengan gelar Sultan Muhammad Ali Muazamsyah tahun 1780 M. beliau ini tidak lama memerintah, karena beliau dinobatkan menjadi Sultan sudah berumur lanjut. Dalam masa yang singkat ini, beliau berusaha membuat jalan dari Senapelan ke Tratak Buluh, dan melaksanakan perdangangan dengan daerah Sumatera Barat melalui Payakumbuh. Juga beliau hari-hari pekan di daerah Kerajaannya, yaitu hari-hari pasar, sehingga timbullah perkataan Pekan Baru sekarang ini.

Beliau mangkat pada tahun 1782 M. atas jasa-jasa beliau, setelah mangkat beliau digelar dengan nama Marhum Pekan. Setelah kemangkatan Sultan Muhammad Ali Muazamsyah dinobatkanlah Tengku Yahya (putra dari Tengku Ismail), menjadi Sultan Siak Sultan Sri Indrapura VI, dengan gelar Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafarsyah Sultan ini memindahkan Ibu Kerajaannya dari Senapelan ke Mempura, yaitu bekas Ibu Kerajaan yang telah dihina oleh ayahndanya dahulu.

Pengangkatan Sultan ini dilakukan oleh Datuk Laksemana Maha Raja Lela Setia Diraja, sebagaimana menurut kebiasaannya. Tidak beberapa lama beliau ini memerintah terniat dalam hati beliau untuk pergi ke semenanjung melayu guna menziarahi makam dari neneknya, dan mangkatlah beliau disana, di sebuah tempat yang bernama Dungun. Kemudian beliau ini setelah mangkatnya digelar Mahum Di Dungun.

 

Sebelum beliau meninggalkan Kerajaan Siak Sri Indrapura, Tahta Kerajaan diwakilkannya kepada Saiyid Ali, anak dari Tengku Embung Badariah berkawin dengan Saiyid Oesman. Berita kemangkatan dari Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafarsyah ini, sampai ke Siak oleh pembesar-pembesar Kerajaan Siak Sri Indrapura, dan dihadiri pula oleh Datuk Lakseman Maha Raja Lela Setia Diraja mengadakan sidang/untuk mencari pengganti Sultan.

Sidang memutuskan bahwa Saiyid Ali yang menjabat Sultan di angkat menjadi Sultan Siak Sri Indrapura. Tidak beberapa lama kemudian dinobatkanlah beliau menjadi Sultan Siak Sri Indrapura dengan gelar Assayaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Beliau inilah Sultan Siak yang pertama berdarah Arab dan bergelar Syaiyid Syarif. Pada masa Sultan inilah Kerajaan Siak Sri Indrapura mencapai kejayaan dibidang peluasan daerah jajahan dengan kerja sama Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja. Ayahanda dari Sultan ini mangkat di dalam peperangan menaklukkan Batu Bara yang digelar Marhum Barat (Saiyid Syarif Oesman). Kemudian dipindahkan ke Pekanbaru di depan Mesjid Raya bersama mertuanya.

Pada tahun 1790 M. sultan Saiyid Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin mengirim surat kepada Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Setia Diraja Bukit Batu. Di dalam surat itu dinyatakan bahwa : Sultan mengharapkan sangat bantuan dari Datuk Laksemana untuk mengambil Asahan sebagai jajahannya. Surat tersebut dibalas oleh Datuk Laksemana bahwa permintaan dari Sultan itu belumlah dapat dikabulkan dalam waktu siangkat mengingat bahwa panglima-panglima Bukit Batu belum ada yang dapat dihandalkan pada masa sekarang, sebab paglima-panglima banyak yang tewas dalam peperangan-peperangan selama lima tahun ini yang tiada henti-hentinya.

“Dari itu kami mengharapkan sangat kesudian Tuanku untuk menangguh niat Tuanku itu, sampai nantinya kami mencari dan melatih penggantinya. Mulai saat itulah Datuk Laksemana Sri Maha Raja Lela Setia Diraja mencari orang-orang gagah dari Sungai Pakning, Buruk Bakul, Bengkalis sampai ke Dumai”

Dari pilihan inila