Tokoh Agama Dunia Angkat Bicara
Pemerintah Korsel Diduga Berupaya Menghancurkan Gerakan Agama Baru "Shincheonji"
Kabar Internasional - Aneh memang kalau Kementerian Kehakiman saat ini di Korea Selatan yang seharusnya melindungi warga negara, malah memerintahkan polisi untuk menggeledah dan menyita?, dengan alasan terpapar VCovid-19, diduga modusnya untuk menghilangkan salah satu agama yang berkembang pesat di Korea Selatan.
Diungkap, bahwa 4.000 orang yang sembuh dari Corona bahkan menyumbangkan plasma darah mereka sebagai kelinci percobaan, sekarang mereka malah didiskriminasikan dan juga dianiaya oleh oknum media setempat dan bahkan termasuk pemerintahan Korea, tagisnya mereka "dijebak dengan modus sebagai kriminal hukum?."
Bukankah aneh bahwa gereja besar yang fundamentalis di Korea itu malah tidak menyerahkan semua daftar anggota gereja yang positif Corona. Tapi bagi untuk agama Shincheonji diminta HARUS menyerahkan SEMUA daftar data pribadi anggotanya, namun mereka malah "dikriminalisasi dengan cara tidak berkeprimanusiaan".
Bisa dibayangkan, tidak hanya daftar data pribadi angota gereja yang dikonfirmasi positif Corona di dalam gereja Korea saja yang diminta, akan tetapi juga daftar data pribadi anggota di luar negeri diminta pemerintah dan bahkan dibocorkan ke media publik.
Akibatnya sikap yang salah dari Pemerintah Korea Selatan tersebut mengenai Corona menyebabkan kemarahan warga.
Atas dugaan kriminalisasi agama bermodus Covid-19 ini, kini diskusi online tentang gerakan agama baru di Korea Selatan dan dimensi politik, agama, dan sosialnya diskusi terhadap krisis COVID-19 akhir-akhir ini, bertajuk “COVID-19 dan Kebebasan Beragama: Mengkambing-hitamkan Shincheonji di Korea Selatan” dilaksanakan para tokoh agama dunia.
Diskusi online tersebut membahas isu yang baru muncul tentang serangan agresif dari kekuatan politik konservatif dan gereja-gereja protestan fundamentalis kepada denominasi Kristen yang baru didirikan tetapi tumbuh dengan pesat yang bernama Gereja Yesus Shincheonji (Langit yang Baru dan Bumi yang Baru) yang berdiri tahun 1984.
Sebagai Sosiolog Agama Italia, Massimo Introvigne mengaku telah mengundang para pakar internasional dan para ahli dalam bidang agama, hukum internasional, dan hak asasi manusia untuk datang menghadiri acar ini.
"Gerakan Kristen baru oleh Shincheonji telah menjadi target penganiayaan dari "gereja protestan fundamental" karena keberhasilan agama itu untuk berkembang," kata Massimo Introvigne, dalam rilis yang disampaikan pada redaksi Kamis (30/7/20).
Dari protestan fundamental dan tradisional yang melihat Shincheonji sebagai competitor seperti ingin dihancurkan, lanjut Massimo Introvigne sebagai Sosiolog Agama Italia yang mempelajari Shincheonji sebelum dan sesudah pandemi COVID-19 dan mempublikasikan laporan pertama mengenai kelompok agama tersebut dalam Bahasa Inggris.
Alessandro Amicarelli, Ketua European Federation for Freedom of Belief, menunjukkan bahwa pemerintah Korea Selatan mempermasalahkan Shincheonji sebagai penyebab dari krisis COVID-19 untuk menutup gereja.
"Sudah ada 30 orang lain yang positif sebelum pasien ke 31 (seorang anggota Shincheonji yang dikritik karena penyebaran virus). Dan banyak orang China termasuk yang dari Wuhan mengunjungi Daegu (Korea Selatan) dan alasan itu infeksi corona menyebar," katanya.
Willy Fautre, Direktur Human Rights Without Frontiers (HRWF), berkata bahwa serangan yang baru-baru ini terjadi pada Shincheonji dapat dilihat sebagai upaya yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Protestan fundamental di Korea Selatan untuk melemahkan dan
menghancurkan competitor dalam pasar keagamaan.
Dia menambahkan, "Pelanggaran Hak asasi manusia terhadap para anggota Shincheonji melalui program pemaksaan pindah agama (yang juga disebut indoktrinasi) dengan menculik dan mengurung selama sepuluh tahun terakhir telah dilakukan akibat dari kegagalan bersaing oleh gereja-gereja protestan di negara itu."
Sementara Profesor Asosiasi di Universitas Derby, Ciaran Burke, mengatakan bahwa pemerintah Kesehatan Korea Selatan secara eksplisit menghubungkan Shincheonji dan merebaknya COVID-19 sampai sekarang walaupun hubungan yang lebih besar antara virus dan konfirmasi kasus telah ditemukan di gereja-gereja lain.
Ia juga menyampaikan keprihatinan akan "pengumpulan informasi pribadi dari 300,000 anggota domestik and internasional oleh pemerintah yang mungkin adalah pelanggaran perjanjian internasional, terlebih dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang disahkan Korea Selatan di tahun 1990."
Penuntutan mengawali investigasi kepada pemimpin-pemimpin Shincheonji termasuk pendirinya Lee Man Hee untuk dugaan peranannya dalam penyebaran COVID-19.
"Tiga petugas Shincheonji ditahan pada tanggal 8 Juli atas tuduhan menjadi penyebab dalam awal dari
penyebaran besar dengan "(menyerahkan) daftar anggota yang tidak akurat," katanya.
“Pemerintah mengabaikan permintaan untuk merubah kata ‘sekte’ dalam laporan resmi ketika merujuk kepada gereja Shincheonji. Pemerintah lokal mendukung para penduduk untuk melaporkan fasilitas dan jemaat Shincheonji kepada pemerintah, menyebabkan stigma bahwa
anggota harus diperlakukan sebagai criminal,” kata petugas Shincheonji di seminar online tersebut.
Sebuah pernyataan yang baru dikeluarkan oleh “keluarga dari yang meninggal dan korban atas COVID-19 menuliskan bahwa "ribuan kerusakan dan kematian dari orang Korea menunjukkan kegagalan respon awal untuk mencegah virus oleh pemerintah."
Sebagai tambahan, Menteri Kehakiman Choo Mi-ae, "mengizinkan pasien COVID-19 dari China untuk masuk ke Korea, menyebabkan penyebaran luas virus di seluruh negara, yang menyebabkan kematian dari orang-orang Korea."
Pernyataan itu juga mengatakan bahwa ia mencoba menghindari tanggung jawabnya atas kerusakan dengan "memberi perintah langsung ke kejaksaan untuk penyergapan dan penahanan atas Gereja Shincheonji." padasalah satu stasiun televisi tenama Korea Selatan.
MBC melaporkan bahwa penyelidikan yang terjadi baru-baru ini di Daegu, pusat dari penyebaran besar COVID-19 di Korea Selatan menambah tekanan kepada kegagalan respon awal untuk mencegah virus dari pemerintah.
Laporan itu, mengutip analisis dari rumah sakit universitas lokal, yang menyatakan bahwa setidaknya
180,000 dari total populasi 2.4 juta orang di kota Daegu terinfeksi COVID-19, 27 kali lipat dari 6,800 kasus terkonfirmasi yang resmi.
Banyak dari kasus yang terkonfirmasi, lebih dari 5,000 adalah anggota Gereja Shincheonji karena informasi pribadi mereka dikumpulkan oleh pemerintah, sementara sisanya 180,000 kemungkinan infeksi tidak terinvestigasi.**