Setelah Putusan MA, Koruptor Buhari Matta "Dikarangkeng" di Lapas Makassar

Setelah Putusan MA, Koruptor Buhari Matta "Dikarangkeng" di Lapas Makassar

Kabar Korupsi - Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 755k/Pid.Sus/2014. Eks Bupati Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) Buhari Matta terpaksa dieksekusi Kejaksaan, dia dihukum dalam jual beli nikel kadar rendah antara Pemkab Kolaka dengan PT Kolaka Mining Internasional, yang menyebabkan kerugian negara Rp 24 miliar.

Kasipenkum Kejaksaan Agung, Mukri mengaku Buhari dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara serta denda sebesar Rp 500 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

Buhari ditangkap dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 4,5 tahun penjara karena terbukti korupsi APBD Rp 24 miliar. Dia diamankan di rumah kediaman terpidana di Soppeng, Sulawesi Selatan, Sabtu (7/12. Selanjutnya terpidana dibawa ke Makassar untuk dilakukan eksekusi pidana badan di Lapas Makassar pada pukul 23.00 WITA.

"Terpidana telah diamankan dan eksekusi pidana badan di Lapas Makassar," katanya, Minggu (8/12/19).

Diketahui dalam persidangan, Perusahaan PT Kolaka Mining Internasional, mengekspor nikel ke China dalam bentuk mentah sebanyak 222 ribu mt pada 2010 dengan harga Rp 78 miliar. Hal itu diikat lewat perjanjian keperdataan.

Dari Rp 78 miliar, Pemda Kolaka mendapatkan sebesar Rp 15 miliar. Sedangkan sisanya digunakan antara lain untuk jasa pengangkutan Rp 10 miliar, transshipment Rp 6 miliar, pinjam sewa pelabuhan Rp 1,7 miliar dan biaya pengiriman ke China sebesar Rp 4 miliar.

Pemilik PT Kolaka Mining Internasional, Atto Sakmiwata Sampetoding lebih dulu ditangkap saat masuk ke Kuala Lumpur, Malaysia dan ditahan otoritas setempat pada akhir November 2019. Imigrasi Indonesia bersama Kejaksaan Agung langsung menjemput Atto dan memulangkan ke Indonesia untuk dijebloskan ke penjara.

Jika memperhatikan proses terjadinya dan pelaksanaan dari perjanjian jual beli antara Pemerintah Kabupaten Kolaka dengan PT Kolaka Mining International, maka perjanjian jual beli tersebut merupakan 'penyelundupan hukum' dan merupakan indikator terdakwa Atto Sakmiwata Sampetoding sebagai perantara (trader). Sehingga terdapat selisih Rp 24 miliar yang tidak dilaporkan ke negara dan dinikmati sendiri oleh Atto.

"Dalam penjualan nikel kadar rendah milik Pemerintah Kabupaten Kolaka tersebut," kata jaksa dalam dakwaannya beberpa waktu lalu.**