Pasturi Pemilik Yayasan Perguruan Tinggi Harapan Palembang di Penjarakan

Pasturi Pemilik Yayasan Perguruan Tinggi Harapan Palembang  di Penjarakan

Kabar Hukum - SS dan MS, di Palembang, Sumatera Selatan pemilik Yayasan Perguruan Tinggi Harapan Palembang dilaporkan terkait pendirian program studi di perguruan tinggi tanpa izin.

Direktur Reskrimum Polda Sumsel, Kombes Yustan Alpiani dalam rilis menyebutkan, pasangan suami istri (Pasutri) menjadi tersangka usai dilaporkan alumninya sendiri yang menyebut prodi di kampus mereka tak terdaftar dan tak diakui Kementerian Ristek Dikti.

"Pelapor yaitu alumni Perguruan Tinggi Harapan Palembang dan lulus di tahun 2017. Ia mewakili 64 orang mahasiswa lain," terangnya, Kamis (31/10/19).\

Dalam laporan, korban mengaku sudah menerima ijazah setelah lulus. Terakhir diketahui program Akademi Perekaman Medis, Informatika dan Akademi Farmasi Harapan Palembang tidak ada izin.

"Karena tidak ada izin, belajar mereka ini tidak diakui oleh Kemenristek Dikti. Para alumni bilang tidak bisa daftar kerja dan merasa dirugikan," kata Yustan.

Setelah mengetahui nasib mereka, para alumni itu melaporkan ke Polda Sumsel. Subdit Keamanan Negara mendapatkan laporan itu langsung memanggil pemilik yayasan.

Kedua tersangka menyelenggarakan Perguruan Tinggi Akademi Perekaman, Medis dan Akademi Farmasi Harapan sejak tahun 1998 dan izin berakhir pada tahun 2000. Setelah izin berakhir, kedua tersangka tidak lagi memperpanjang izin dari Departemen Kesehatan, sementara Izin Program Studi baru dikeluarkan di tahun 2004 dan berakhir tahun 2009.

Dari hasil pemeriksaan, diketahui kedua tersangka bertanggungjawab langsung. Sofyan Sitepu sebagai pemilik perguruan tinggi dan yayasan sedangkan sang istri sebagai Ketua Yayasan di Perguruan Tinggi Harapan Palembang.

Kedua tersangka kini ditahan dan dijerat Pasal 378 KUHP dan atau Pasal 62 ayat 1 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Pasal 42 ayat 4 UU no 12 Tahun 2012 tetang Pendidikan Tinggi. Pasturi ini terancam penjara paling lama 10 tahun dan pidana denda maksimal Rp 1 miliar.**