Dua Pakar Ini Sepakat Revisi UU KPK Melemahkan

Dua Pakar Ini Sepakat Revisi UU KPK Melemahkan

Kabar Hukum - Apakah? ada hubungannya dengan Rancangan Undang - Undang RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kumpulan anggota DPR/DPRD yang telah diantar KPK ke penjara? yang jelas draf RUU (rancangan undang-undang) KPK menjadi RUU KPK telah disahkan DPR RI untuk dibahas, kini dikritisi banyak pakar. 

Misalnya, Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), yang juga peneliti, Zainal Arifin Mochta melihat ada kejanggalan dalam pembahawan RUU KPK ini, dia berharap presiden Joko Widodo menolak pembahasan terkait revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR RI tersebut.

"Kita dan masyarakat yang peduli akan korupsi meminta Jokowi mempertahankan janjinya untuk memperkuat KPK, yang bilang mau menguatkan KPK dan pemberantasan korupsi. Harusnya presiden menolak gaya DPR membahas dengan buru-buru, apalagi isinya bukan memperkuat tapi melemahkan KPK," katanya.

Hal ini dikatakan beliau, karena masyarakat menagih janji presiden dan jangan sampai masa presiden Jokowi menyalahi janjinya?. Lagipula lanjutnya, masa kerja DPR periode 2014-2019 akan segera berakhir. DPR menurut Zainal tidak bisa melakukan pembahasan UU KPK itu dalam waktu yang singkat, :apalagi tergesa-gesa jelang hengkangnya para dewan ini dari kursi wakil rakyat itu," tukasnya.

Sementara itu Direktur Formasi Riau, Muhammad Nurul Huda pada media mengaku berpendapat sama, dengan Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), dikatakannya setidaknya ada 255 orang wakil rakyat dari DPR RI/DPRD yang telah ditangkap dan ditersangkakan KPK melakukan korupsi.

"Ini yang membuat rakyat bertanya ternyata yang ditangkap itu mereka yang merancang UU KPK," jelasnya, Sabtu (7/9/19).

Setelah melihat RUU tersebut, Muhammad Nurul Huda dan beberapa rakyat riau menyesalkan sekaligus kecewa sikap dan tindakan DPR RI yang begitu semangat memperlemah agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.

Pelemahan tersebut terlihat dari hadirnya dewan pengawas, penuntutan harus koordinasi dengan kejagung dan KPK bisa mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). 

Hadirnya dewan pengawas dalam tubuh KPK, seakan meragukan integritas dari pimpinan KPK dan pegawai KPK. Padahal dewan pengawas KPK belum diperlukan saat ini. Karena memang kenyataannya belum ada sistem yang telah dibangun hingga yang saya ketahui sudah cukup bagus.

"Presiden pun setidaknya memiliki waktu yang cukup lama untuk mempelajari usulan tersebut. Sehingga ia optimis Revisi UU KPK akan berjalan dengan banyak pertanyaan dibenak masyarakat," lanjutnya.

Dikatkan beliau, secara waktuyang sangat singkat jelang berakhirnya masa jabatan sebenarnya mustahil. Katanya, Bayangkan DPR bersidang tinggal beberapa hari.

"Mana bisa membahas UU yang penting seperti UU KPK? Padahal baru akan mulai. Artinya harus dikirimkan ke Presiden lalu presiden mengutus menteri untuk melakukan pembahasan. Presiden punya waktu yang cukup lama. Menurut UU No 12 tahun 2011 ada waktu sekitar dua bulan bagi presiden untuk memperlajari dan mengirimkan menteri untuk membahas bersama," ucapnya.

Sebenarnya kalau kita ingat tahun-tahun sebelumnya, usulan revisi UU KPK ini sudah pernah diajukan dengan isi subtansi yang sama dan dinilai melemahkan KPK.

"Maka dari itu kita meminta Jokowi untuk tidak menyetujui pembahasan tersebut dan mempertahankan janji kampanyenya untuk memberantas praktik korupsi, pokoknya jangan lebai," tukasnya.

Senada mereka sepakat, Presiden diharapkan tidak teken surat ke presiden yang akan menugaskan menteri melakukan pembahasan.

"Mudah bukan? Lagipula presiden sudah pernah lakukan dulu. Nah, bola itu ada di presiden, mau jadi pahlawan menolong KPK atau menjadi penghianat dengan merusak KPK serta menyalahi janji kampanyenya. Silahkan tuan presiden pikirkan," tuturnya.

Lebih jelas mereka menilai kelemahan RUU KPK terkait koordinasi penuntutan ini, diman itu kata mereka sangat keliru cara berpikir DPR.

"Memang jaksa ini pemegang hak penuntutan pidana secara umum, kecuali ditentukan lain. Tetapi KPK sudah diberikan kewenangan penuntutan juga. Artinya jika ada dua aturan yang mengatur suatu persoalan hukum yang sama, maka dilihat UU mana yang lebih sistematis khusus yang mengaturnya. Tentunya yang lebih sistematis khusus dalam penuntutan korupsi adalah UU KPK. Artinya Kejagung lah yg harus berkoordinasi dengan KPK terkait dengan penuntutan tindak pidana korupsi. Karena KPK adalah lembaga khusus yang dibentuk untuk mencegah dan memberantas korupsi," jelasnya.

Selanjutnya terkait SP3. Apabila KPK diberikan kewenangan mengeluarkan SP3, lalu apa bedanya dengan lembaga penegak hukum lain yang menangani korupsi. Justru dengan tidak dibolehkannya KPK mengeluarkan SP3, maka dituntut kehati-hatian KPK dalam menindak kasus korupsi. Dengan tidak dibolehkannya KPK mengeluarkan SP3, artinya tidak ada kesempatan tersangka korupsi utk bebas setelah ditersangkan KPK.

Untuk itulah, Rakyat Riau menolak pembahasan RUU KPK ini. Karena memang RUU KPK atas inisiatif DPR RI ini jauh dari semangat pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan adanya petisi penolakan RUU KPK ini masyarakat beramai-ramai menandatanganinya.*Basya.

Yang Menolak Klik Disini