Kedewasaan Merespon Hasil Persidangan MK

Kedewasaan Merespon Hasil Persidangan MK

Kabar Opini - Pemilu, khusus Pilpres 2019 telah sampai pada proses babak baru, sebagai babak akhir di Mahkamah Konstitusi (MK), setelah melampaui proses yang panjang dan melelahkan.

Sebenarnya, babak akhir ini bisa saja tidak dilalui bila para pihak bisa memahami, menerima dan tidak merasa dirugikan atas keputusan KPU.

Beberapa minggu ke depan, apapun keputusan MK, semua pihak harus menerima. Tidak ada kekuatan apapun, termasuk dalam bentuk demonstrasi, yang bisa menolaknya karena sifatnya sudah final dan mengikat para pihak.

Lagi pula, pembangunan bangsa ini harus terus berjalan, tidak boleh terganggu karena proses kepemiluan lima tahunan yang sudah mendapat ketetapan dari MK. Jika ada demonstrasi, sifatnya harus mendukung keputusan MK. Menjadi tidak lazim bila ada demonstrasi penolakan, sekalipun dibungkus dengan ucapan, "kami tetap menghormati keputusan MK."

Memang proses yang melelahkan tersebut acapkali diwarnai dinamika politik yang kurang produktif. Misalnya, demonstrasi yang berujung bentrokan yang sangat memprihatinkan kita semua di negeri ini.

Sedikitnya, ada enam orang korban sia-sia, yang seharusnya tidak perlu terjadi bila para pihak mentaati semua aturan dan menahan diri untuk tidak menggunakan diksi yang tidak produktif di ruang publik.

Berkaca dari realitas politik di atas, maka pertentangan yang berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan sosial harus kita hentikan sama sekali. Biarlah kita semua, utamanya para aktor politik, mengikuti secara seksama proses persidangan dan perdebatan hukum di MK. Untuk itu, diperlukan kedewasaan seluruh anak bangsa, siapapun dia, tanpa kecuali, merespon proses persidangan di MK. 

Sebab menurut hemat saya, persidangan di MK, merupakan perdebatan filosofis,  akademis dan normatif, yang lepas dari perdebatan politis praktis demi kekuasaan yang manipulatif. Tidak ada ruang terciptanya perdebatan politis prakmatis di persidangan di MK. 

Untuk itu, saya menyarankan agar para pihak lebih bijak memberikan pandangan dan tanggapan, terutama di ruang publik, terkait dengan persidangan yang sedang berlangsung di MK.

Semua aktor sosial (politik) harus menjaga kata dan narasi, sehingga tidak muncul lontaran komunikasi (politik)  merendahkan satu dengan yang lain, apalagi melemahkan reputasi hakim konstitusi dan institusi-institusi negara,  tentu termasuk di dalamnya institusi MK yang sedang melaksanakan tugas konstitusional menyidangkan dan memeriksa secara seksama semua fakta,  data,  bukti,  argumentasi dan dalil terkait dugaan pelanggaran dalam kepemiluan kita. 

Karena itu sangat-sangat tidak tepat, misalnya, mengatakan jangan sampai MK menjadi mahkamah kalkulator. Sebab,  narasi ini berpotensi membangun makna yang sangat tidak  bagi sebuah institusi negara yang sedang mengemban tugas mulia,  tugas konstitusionalnya.

Salam, Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner, Emrus Sihombing.